Pencucian Uang

Money Loundering diterjemahkan dengan pemutihan uang atau pencucian uang adalah kejahatan yang bertujuan untuk melindungi atau menutupi suatu aktivitas crimimal yang menjadi sumber dari dana atau uang yang akan dibersihkan. Mantan Managing Director INF, Michael Camdessus yang membuat statement bahwa kasus Money Loundering di seluruh dunia berkisar antara 2-5% dari Gross Domestic Product (GDP) dunia. Kasus money loundring terus meningkat setiap tahunnya dengan modus yang main beragam. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan perlu penanganan antar negara untuk meminimalkan kerugian yang lebih luas. 

Tahun 2003-2006, ada 433 kasus dengan nilai total setara Rp 100 trilliun dicurigai terkait dengan tindak pidana pencucian uang. Dugaan tindak kriminal yang terkait dengan Money Loundering itu adalah korupsi/penggelapan sebanyak 178 kasus, penipuan 157 kasus, kejahatan perbankan 27, pemalsuan dokumen 19, teroris 5, penggelapan pajak 4, perjudian 3, penyuapan 7, narkotika 3, pornografi anak 1, pemalsuan uang 4, pencucian 1, pembalakan liar 4, tidak teridentikasi 20. Dari sisi penyedia Jasa Keuangan (PJK) pelapornya terdiri dari bank sebanyak 421 dan non bank 12. Non bank terdiri dari pedagang valuta asing 7 dan perusahaan pembiayaan 5. Selain adanya laporan pembawaan uang melewati daerah kepabeaan sebanyak 2.432 laporan dari 5 pelabuhan dan pos. PPATK juga menerima laporan transaksi cash dengan nilai di atas Rp.500 juta melalui PJK sebanyak 1.968.180 laporan. 

 Ruang Lingkup Isi 

Modul ini meliputi pengertian money laundering sebagai salah satu dari bentuk kejahatan transnasional. Kasusi money laundering terus meningkat dengan modus operandi yang makin beragam yang tidak hanya melibatkan individu dan organisasi tapi juga melibatkan negara . Keterlibatan Negara dalam mengatasi kejahatan transnasional baik melalui kerjasama bilateral, regional maupun internasional. Disamping itu, dalam mengatasi kejahatan transnasional yang terus meningkat juga menggunakan kerjasam dengan orangisasi internasional yang terkait, 

 Kaitan Modul 

Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok bahasan money laundering pada mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional. 

 Sasaran Pembelajaran 

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat: 
Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola money laundering 
Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus money laundering 
Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi money laundering 
Mampu menganaisis kasus money laundering dengan memberikan solusinya. 

 Indikator Penilaian 

Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek: 
Keaktifan di kelas 
tata kerama/ sopan santun 
Kerjasam team 
keaktifan berdiskusi 
Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks book mutahir sebagai acuan 
Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber 
Mampu menganalisis kasus money laundering Negara berkembang, khususnya di Indonesa 

PEMBAHASAN 

Kejahatan peredaran gelap narkoba telah lama diyakini memiliki kaitan erat dengan proses pencucian uang dan tegolong sebagai organized crime, dimana metode pencucian uang ini digunakan adalah untuk menyembunyikan, menyamarkan, atau mengaburkan hasil bisnis ilegal tersebut agar tampak seolah-olah berasal dari bisnis yang sah.Gerard Wyrsch (1990) mengungkapkan, pencucian uang yang berasal dari bisnis narkotika di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 100-300 milyar dolar per tahunnya. Di Eropa diperkirakan mencapai 300-500 dolar per tahun. FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering) dalam annual report tahun 1995-1996 memperkirakan sekitar 600 milyar hingga 1 triliun dolar dicuci per tahunnya. Perkiraan jumlah tersebut terus meningkat tiap tahun sehingga dikenallah istilah narco dollar. 

Saat ini, total nilai pencucian uang haram dunia telah mencapai 2-5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia atau mencapai satu trilyun dolar AS tiap tahunnya. Nilai ini merupakan urutan ketiga dari industri terbesar yang beroperasi di dunia. Sedangkan kontribusi terbesar dari money laundring adalah drug trafficking (pedagangan obat-obat terlarang) yang mencapai 400 milyar dolar AS. Sedangkan narcotics trafficking, arms trafficking, bank fraud, securities fraud, counterfeiting, dan kejahatan sejenis mencapai 600 milyar dolar AS. Bisa dipahami jika negara yang melindungi praktik money laundering dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi dunia. Dari sini dapat terlihat dengan jelas bahwa keberhasilan penanganan peredaran gelap narkoba bergantung banyak pada efektivitas rezim anti pencucian uang. Karenanya, mengungkap perdagangan gelap narkoba bisa dilakukan dengan membongkar praktek pencucian uang di Indonesia. 

Ada tiga proses umum metode pencucian uang yang biasa dilakukan. Pertama, placement, yaitu proses pemecahan uang tunai dalam jumlah yang sangat besar kedalam jumlah yang lebih kecil lalu didepositokan ke dalam rekening di suatu bank. Bisa juga dengan pembelian sejumlah instrument moneter. Contohnya, apabila seorang pengedar mendapatkan hasil lima juta dollar. Dia ingin memasukkan hasil tersebut ke dalam sistem perbankan. Dengan dana yang sebesar itu, akan sangat mencolok apabila disesuaikan dengan prosedur biasa, sehingga dipakailah surat berharga atau juga rekening-rekening acoount dari bank. Kedua, layering, yaitu tahap penyamaran dan pemisahan hasil pencucian ke dalam banyak rekening, dari bank ke bank, dari negara ke negara. Ketiga, integration yaitu tahap sirkulasi dalam bentuk pendapatan yang bersih untuk kembali melakukan kegiatan operasi dari penjahat yang mengendalikan. 

Praktik pencucian uang haram (money laundering) yang terjadi dalam sistem perekonomian Indonesia masih terbilang sangat tinggi. Indonesia, berdasarkan data Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, ternyata dimasukkan dalam daftar utama tempat pencucian uang. Jumlah transaksi yang dihasilkan dari peredaran gelap narkoba di Indonesia mencapai 300 triliun pertahun. Fakta ini jelas menuntut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk bekerja lebih keras dalam pemberantasan money laundering. 

Mengenai jaringan sindikat perdagangan narkoba tersebut, kepala Pusat Represif Badan Narkotika Nasional (BNN), Brigjen Alex Bambang Riatmojo, mengemukakan bahwa para pelaku berasal dari berbagai negara, terutama dari Afrika yang memiliki sistem mobilitas tinggi dan sistem security atau kerahasiaan yang begitu rumit (sistem cut) seperti Ghana, Nigeria, dan Liberia. Beliau juga mengungkapkan, salah satu kendala dalam upaya pemberantasan tindak pidana jenis ini adalah kenyataan bahwa sering sekali aksi ini melibatkan jaringan internasional, sehingga seringkali mereka harus melacak sampai ke luar negeri. Meskipun demikian, mau tak mau, masalah ini harus segera diatas jika Indonesia serius dengan misi internasionalnya, dengan segala keinginannya untuk membuat Indonesia menjadi seperti negara-negara maju lain. 

kinerja ekspor Indonesia selama ini masih jauh dari memuaskan, meski selama tahun 2004 telah naik 11,49 persen di posisi 69,71 milyar dolar AS. Nilai itu belum memadai untuk menyokong pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada 6,6 persen per tahun. Tak cuma ekspor, investasi juga bakal terganggu. Saat ini saja realisasi dari persetujuan dari Penanaman Modal Asing (PMA) menurun dari 5,4 milyar dolar AS menjadi hanya 4,6 milyar dolar AS di tahun 2004. Tahun investasi yang dicanangkan selama 2003 dan 2004 belum memberikan hasil jelas. 

iduga penyebab utamanya adalah masalah kepastian hukum dan sulitnya perizinan di Indonesia, termasuk konsen investor terhadap maraknya korupsi di Indonesia dan tingginya praktik money laundering. Tidak cuma investor, kancah pergaulan internasional Indonesia juga akan terganggu. Maka, tak heran kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cepat-cepat mengirim surat pada FATF melalui Menteri Sekretaris Negara untuk segera mengeluarkan Indonesia dari dafar hitam negara pencuci uang.Yang menjadi sasaran memang sistem keuangan. Artinya, jika terus dirongrong tanpa penindakan jelas dari para penegak hukum, harapan untuk meningkatkan investasi bisa saja nihil. Ini masuk akal karena money laundring secara nyata bisa mengganggu keberadaan perusahaan yang sah. Melalui pencampur adukan uang halal-haram maka perusahaan pencucian uang akan mudah menjual barang/jasa di bawah harga pasar, akibatnya perusahaan sah akan sulit bersaing. 

BUMN juga bakal berimbas. Karena uang dari kejahatan amat besar jumlahnya, maka melalui dana itu pulalah tak tertutup kemungkinan masuknya uang haram melalui program privatisasi pemerintah. Bahayanya, bisnis tidak akan dijalankan untuk mengejar keuntungan melainkan semata mencuci uang. Lebih mengkhawatirkan, jika pencucian uang dianggap dilakukan negara, maka bisa merusak kepercayaan internasional dan secara otomatis kehilangan kesempatan untuk berinvestasi pada tataran global. Dalam hal pengendalian moneter, pemerintah juga bakal disulitkan. Sebab, baik pemerintah atau BI akan kesulitan mengendalikan mata uang dan juga suku bunga akibat penanaman modal dari para pencuci uang umumnya bukan pada negara yang memberikan rate of return yang tinggi melainkan yang sulit dideteksi. 

al ini pulalah yang menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap instabilitas moneter akibat terjadinya misalokasi sumber daya karena distorsi aset dan harga-harga komoditas yang direkayasa. Meningkatnya permintan uang bisa mempengaruhi volatilias terhadap modal internasional, suku bunga dan nilai mata uang sehingga sulit mencapai kebijakan makroekonomi yang sehat dan stabilitas makro.Tindakan ini, seperti diakui oleh Amerika Serikat dan Kanada, sangat berdampak buruk terhadap negara, sebab, selain merongrong integritas pasar-pasar keuangan dan pihak swasta yang sah, money laundry juga mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kegiatan ekonominya. Selain itu, tindakan ini juga menyebabkan hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak akibat pencucian uang, serta sangat membahayakan upaya privatisasi perusahaan negara yang dilakukan oleh negara. 

Alasan lain yang turut mendorong maraknya kejahatan ini, khususnya di Indonesia, adalah adanya rezim devisa bebas yang memungkinkan siapa saja yang memiliki devisa, dapat menggunakannya untuk kegiatan apapun; kemajuan teknologi di bidang informasi terutama penggunaan internet memungkinkan kejahatan terorganisir; ketentuan rahasia bank yang meskipun Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang telah menghapuskan ketentuan tersebut, tetap saja masih diberlakukan secara ketat; ketentuan hukum mengenai kerahasiaan hubungan antara pengacara dan klien serta antara akuntan dan klien yang makin mempersulit penyelidikan; lemahnya penegakan hukum dan kurangnya profesionalitas aparat penegak hukum; dan masih banyak lagi. 

Ditinjau dari posisi geografis Indonesia memang suatu wilayah sentral bagi lalu lintas perdagangan narkoba antara Asia dan Australia. Semakin meningkatnya kasus-kasus yang melibatkan warga negara asing menunjukkan bahwa Indonesia sudah sejak lama menjadi target utama sindikat Internasional perdagangan obat terlarang.Sebagai bentuk kejahatan yang relatif baru di Indonesia, penanganan money laundering memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada dua masalah besar dalam pelaksanaan penegakan hukum antipencucian uang ini, yakni kerahasiaan bank dan pembuktian. Penerapan prinsip mengenal nasabah merupakan salah satu langkah konkret identifikasi nasabah. Selama ini, lembaga penyedia jasa keuangan terbiasa menyimpan rapat-rapat data mengenai nasabahnya. 

UU Money Laundering jelas dianggap melanggar aturan perbankan. UU ini memang sudah direvisi. Walaupun begitu, beberapa kalangan mengakui bahwa UU ini jauh dari kesempurnaan. Kelemahan yang dulu sempat tampak pada UU No. 15/2002 adalah terbatasnya jenis tindak pidana yang dapat dijerat dengan UU tersebut. Dalam amendemen UU baru ini, ditambahkan sembilan jenis tindak pidana, sehingga jumlah totalnya menjadi 24 tindak pidana asal. Salah satu tindak pidana baru yang dimasukkan adalah perjudian. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengakui, salah satu kelemahan UU ini adalah tetap tidak bisa menjerat hasil perjudian yang dilakukan di luar Indonesia. 

Sebenarnya, di satu sisi, dimasukkannya perjudian ke dalam UU ini bernilai positif. Tetapi, sayang, hal itu hanya menyelesaikan sebagian masalah terkait dengan pengharaman uang perjudian dalam UU Antipencucian Uang. UU ini belum sepenuhnya mampu mencegah uang haram hasil perjudian masuk ke dalam sistem keuangan di Indonesia. Intinya, hal itu hanya sebatas mengriminalisasi, dan tidak dapat menjangkau, seperti yang dilakukan di luar negeri. Dengan asas double criminality yang dianut Indonesia, kejahatan bukan hanya harus diakui di Indonesia, tapi juga harus diakui di negara lain. Sehingga, Pemerintah Indonesia tidak bisa menjerat orang yang menransfer uang hasil perjudian dari negara yang melegalkan perjudian ke Indonesia. Australia, misalnya. Indonesia tidak bisa melakukan kerja sama dengan Australia, karena negara tersebut melegalkan perjudian. 

Hingga saat ini telah terbentuk beberapa undang-undang yang diharapkan mampu mengatasi masalah perdagangan gelap narkotika ini. Diantaranya: International Opium Convention Convention of 1931 Suppression of Smoking, Convention for the Suppress of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs of 1946, dan Single Convention Narcotics Drugs 1961 yang dianggap paling universal dalam pengawasan obat bius, dimana konvensi ini meliputi perjanjian multilateral dengan sejumlah besar negara-negara anggota PBB. Selain itu juga dikeluarkan Convention on Psychotropics and Substances of 1971, yang merupakan sistem kontrol terhadap obat-obat kimia dan farmasi. 

United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (tahun 1988) merupakan titik puncak peraturan untuk pemberantasan pencucian uang dari kejahatan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Konvensi ini mengharuskan tiap negara anggota memberlakukan kriminalisasi pencucian uang yang berkaitan dengan peredaran gelap obat-obat bius, mengatur ketentuan mengenai daftar pelanggaran yang berkaitan dengan industri, distribusi atau penjualan gelap dari obat bius dan organisasi serta pengelolaannya, konvensi ini pulalah yang mengokohkan terbentuknya International Anti Money Laundering Legal Regime yang merupakan salah satu upaya internasional untuk menetapkan rezim hukum internasional dalam badan internasional. Indonesia meratifikasi konvensi ini melalui UU No. 17 tahun 1997. 

Selain itu, United Nation Congress on the Prevention on Crimes and Treatments of Offenders pada tahun 1995, berisi 17 kejahatan serius yang harus diwaspadai, dengan pencucian uang menempati urutan pertama. pada April tahun 2002, Indonesia mengeluarkan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai bentuk ratifikasi terhadap konvensi tersebut. Sejak tahun 1993 Indonesia telah memberlakukan hukuman mati terhadap para pelanggar tindak pidana di bidang narkoba. Peraturan-peraturan perundang-undangan RI yang didalamnya mengatur penjelasan tentang sanksi hukuman mati kepada pelaku sindikat peredaran gelap narkoba diatur dalam UU RI No. 22 Tahun 1997 khusunya pasal 81, pasal 82, dan pasal 83. Meskipun sempat terjadi perdebatan untuk permohonan uji materi mengenai efisien tidaknya pemberlakuan hukuman mati ini, tapi hingga saat ini Undang-undang tersebut belum diubah. Masih banyak pihak yang masih menganggap bahwa hukuman mati akan dapat membuat efek jera, salah satunya Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Jenderal Polisi I Made Mangku Pastika. Meski demikian, hukuman sebenarnya hanyalah sebagai salah satu metode, pada kenyataannya MK mengeluarkan statement bahwa pidana mati, tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Indonesia tidak menganut asas kemutlakan hak asasi manusia. Hak asasi manusia dalam Undang-Undang 1945 dibatasi oleh pasal kunci yaitu pasal 28J, yaitu hak asasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. 

` Disisi lain, dengan semakin maraknya perdagangan gelap narkoba, Ditjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan terus meningkatkan pengamanan di berbagai pelabuhan besar di Indonesia untuk mencegah penyelundupan narkoba. Upaya pemberantasan drugs trafficking ini juga diikuti dengan peningkatan koordinasi dengan aparat dan instansi terkait, seperti kepolisian. Meskipun demikian, menghentikan peredaran narkoba tidak cukup hanya diatasi dengan penegakan hukum sebagai bagian dari reduksi suplai. Dalam hal ini, penegakan hukum memang sangat diperlukan, tetapi pengurangan permintaan dan pengurangan dampak buruk juga diperlukan. Sekadar perbandingan, Mae Fah Luang Foundation, sebuah yayasan di Thailand, telah berhasil memberantas penanaman opium melalui pengentasan kemiskinan di jantung wilayah segitiga emas Chiang Rai, Thailand bagian utara. Kini, yayasan ini mencoba membantu beberapa negara berkembang yang memiliki masalah yang sama dengan Aceh. Upaya lain yang coba ditempuh oleh pemerintah adalah upaya preventif dengan menyebarkan informasi tentang bahaya penyalahgunaan narkotika dan sanksi hukumnya. Jauh sebelum itu terbentuk, ada empat pilar yang harus diperkuat. Yakni, perundang-undangan dan hubungan masyarakat; sumber daya manusia dan teknologi informasi; analisis dan kepatuhan, serta kerja sama domestik dan internasional. Kesemuanya bermuara pada sejauhmana berbagai pihak bisa mendukung tujuan dimaksud. Yang jelas meski telah dinyatakan lulus dari daftar hitam pencuci uang ada enam catatan yang harus diperhatikan. Pertama, meningkatkan pelaporan dari bank-bank kecil. Kedua, meningkatkan capacity building dari penegak hukum. Ketiga, menyelesaikan perkara penanganan tindak pidana pencucian uang dalam waktu cepat. Keempat, audit terhadap penyedia jasa keuangan. Kelima, menyelesaikan draft RUU hukum timbal balik dan keenam, memperkuat efektivitas profesional PPATK.
Tag : Koruptor
0 Komentar untuk "Pencucian Uang"

Back To Top