Korupsi

Gencarnya pemberitaan di media massa seputar meninggalnya Soeharto mampu menutupi pemberitaan pelaksanaan Konferensi Kedua Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Dunia (The Second Session of the Conference of the states parties to the United Nations Convention Against Corruption-CSP-2 UNCAC) yang berlangsung di Bali. Ironisnya lagi, Konferensi tersebut gagal dijadikan momentum penting bagi Pemerintah Indonesia dalam memerangi korupsi, terutama dalam mengembalikan asset negara yang telah dilarikan para koruptor kita ke luar negeri, termasuk kasus Soeharto. 

Menurut PBB dan Bank Dunia, besarnya asset yang dilarikan ke luar negeri oleh pemimpin yang korup mencapai 40 miliar dollar AS (Rp 376 triliun) setiap tahunnya. Berdasarkan hasil survei Transparency International 2007, Indonesia merupakan negara terkorup, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara, seperti Singapura dan Malaysia. Dimana, indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index/CPI) Indonesia pada kisaran 2,3. Kondisi ini lebih buruk dibandingkan tahun 2006 (2,4). Disamping itu, Indonesia ditetapkan sebagai negara kelima terkorup di dunia dari 146 negara yang telah di survei. 

Sebagai gambaran, kita bisa bercermin dari hasil survei yang dibuat Meil Lynch Singapura akhir tahun 2005. Dimana, total asset orang kaya yang ada di Bank Singapura mencapai 260 miliar dollar AS dari 55.000 orang. Namun, sepertiganya atau sekitar 18.000 orang berasal dari Indonesia dengan total kekayaan diperkirakan sekitar 87 miliar dollar AS (Rp 800 triliun). Pada tanggal 2 April 2007, Kejaksaan Agung membuat daftar nama 20 buronan yang berstatus tersangka maupun terpidana pada kasus korupsi yang melarikan diri ke Singapura. Misalnya, Sentoso Hendra Raharja tersangka kasus korupsi Bank Harapan, diduga memiliki rekening yang diperkirakan sekitar 6-7 triliun rupiah di Bank Singapura. 

 Ruang Lingkup Isi 

Modul ini meliputi pengertian korupsi sebagai salah satu dari bentuk kejahatan transnasional. Kasusi korupsi terus meningkat dengan modus operandi yang makin beragam yang tidak hanya melibatkan individu dan organisasi tapi juga melibatkan negara . Keterlibatan Negara dalam mengatasi kejahatan transnasional baik melalui kerjasama bilateral, regional maupun internasional. Disamping itu, dalam mengatasi kejahatan transnasional yang terus meningkat juga menggunakan kerjasam dengan orangisasi internasional yang terkait, 

Kaitan Modul 

Modul ini merupakan modul ke tiga yang menjadi sub pokok bahasan korupsi pada mata kuliah terorisme dan kejahatan transnasional. 

 Sasaran Pembelajaran 

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat: 
Menjelaskan pengertian korupsi Menjelaskan bentuk dan pola korupsi 
Menjelaskan keterlibatan individu, ornisasi dan Negara dalam kasus korupsi 
Menjelaskan kerjasama Negara dan Negara dalam mengatasi korupsi 
Mampu menganaisis kasus illegal fishing dan illegal loging dengan memberikan solusinya. 

 Indikator Penilaian 

Poin penting menjadi indicator penilaian dalam modul ini, meliputi aspek: 
Keaktifan di kelas 
tata kerama/ sopan santun 
Kerjasam team 
keaktifan berdiskusi 
Tersusunnya tugas kelompok secara sistemtis dan lengkap (minimal 5 buku teks book mutahir sebagai acuan 
Mampu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber 
Mampu menganalisis kasus korupsi di Negara berkembang, khususnya di Indonesa 


PEMBAHASAN 

Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah, berasal dari kata latin corruptio yang berasal pula dari kata latin yang lebih tua, corrumpere. Namun, apapun artinya, tetaplah berkonotasi buruk. Di lain sisi, korupsi secara yuridis dilukiskan dengan bervariasi di berbagai negara meski masih terdapat titik persamaan secara umum.Di Indonesia, ketika orang berbicara mengenai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat menyangkut keuangan negara dan suap. 

Pada tahun 2006, Transparancy International kembali mengeluarkan indeks persepsi korupsi (corruption perception index/CPI). Dalam hasil survei itu, peringkat korupsi Indonesia semakin baik dengan nilai indeks 2,4, meningkat dari tahun sebelumnya, 2,2. Nilai indeks ini juga ikut mendongkrak urutan Indonesia satu peringkat dari negara terkorup keenam (dari 159 negara) pada 2005 menjadi ketujuh (dari 163 negara) pada tahun ini. Tahun 2007, peringkat Indonesia berubah menjadi negara kelima terkorup di dunia dari 146 negara. Dengan indeks persepsi 2,3, kondisi ini jelas lebih buruk dibandingkan tahun lalu. Transparancy International mengambil fokus korupsi pada sektor publik yang dikaitkan dengan penyalahgunaan wewenang di sektor publik untuk kepentingan pribadi. Ini termasuk pembagian keuntungan (kickback) dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah serta penggelapan dana publik yang menyangkut dua kategori korupsi sekaligus, yaitu korupsi birokrasi dan korupsi politik. 

Tingkat korupsi di Indonesia semakin buruk kendati upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan. Menurut indeks persepsi korupsi versi Transparansi Internasional Indonesia, Dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, Indonesia terlihat jelas jauh lebih korup. Namun Indonesia tidak termasuk negara yang dinilai paling korup se-dunia, yang ditempati Somalia. Sementara negara terbersih masih dipegang oleh beberapa negara Eropa seperti Denmark, Finlandia, Belanda dan Norwegia.November 2007 lalu, dengan Singapura, Indonesia telah menyepakati perjanjian ekstradisi dalam hal pengembalian koruptor-koruptor Indonesia yang selama ini bersembunyi di Sinngpura. 27 April sebelumnya, Kejaksaan Agung telah membuat daftar nama-nama buronan 20 orang yang lari ke Singapura, yang berstatus tersangka maupun terpidana dalam kasus korupsi. 

Hasil survei yang dibuat Merril Lynch Singapura akhir tahun 2005, total aset orang kaya di Singapura sebesar 260 miliar dolar AS. Yang mengejutkan, sepertiga dari 55.000 orang kaya di Singapura atau sekitar 18.000 orang yang memiliki kekayaan minimal di atas 1 juta dolar AS adalah orang Indonesia. Mereka rata-rata berstatus sebagai penghuni tetap (permanent resident). Jumlah kekayaan orang Indonesia di Singapura diperkirakan sekitar 87 miliar dolar atau setara dengan Rp 800 triliun. 

Selain itu, masih banyak kasus-kasus korupsi internal Indonesia yang lain, termasuk yang masih menunggu untuk diselesaikan. 

Kasus mantan Presiden Soeharto contohnya. Pak Harto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) yang jika diakumulasikan jumlahnya mencapai kisaran Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan jika ia sudah sembuh. Fakta bahwa beliau telah meninggal 27 Januari 2008 ini, tentu semakin memperumit pengusutan kasus ini. 

Kasus korupsi di Pertamina. Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara adalah US$ 24.8 juta. Tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo. 

Kasus lain yang tak kalah merugikan negeri tercinta kita adalah Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut.Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta.Tak ketinggalan korupsi di BAPINDO pada tahun 1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) yang dilakukan oleh Eddy Tanzil, hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya. Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun. 

Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi juga mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto. Dalam proyek pemetaan hutan, Bob Hasan telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta. Kini Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan, Jawa Tengah. Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan mantan Presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya. 

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun. Mantan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran dana BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran dana BLBI, Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo, telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara. Meskipun demikian masih ada pihak-pihak tertentu yang menganggap bahwa hukuman tersebut terlalu ringan. Ketiganya kini sedang naik banding. Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern). Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus. 

Di ujung lain Indonesia, kasus korupsi tak luput melanda. Abdullah Puteh, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Rp 30 miliar. Kasusnya kini masih ditangani pihak kejaksaan dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang terbaru di tahun 2008 ini, adalah kasus dugaan korupsi aliran dana ke DPR senilai 31,5 Milyar. Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah dinyatakan sebagai tersangka kasus dugaan aliran dana ilegal Rp 100 miliar yang diambil dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Penetapan tersangka itu bisa jadi merupakan bukti janji KPK yang akan menentukan nasib kasus BI setelah 21 Januari 2008 

Melihat begitu banyaknya kasus-kasus yang harus diselesaikan ini, tak heran jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah bertekad dalam program kerja seratus harinya akan mengutamakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi: Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Kepolisian, Kejaksaan, BPKP, dan ada juga lembaga non-pemerintah, media massa atau organisasi massa seperti ICW. Dalam pemberantasan korupsi ini, bahkan sektor swasta pun akan menjadi sasaran..Selain itu, di tingkat internasional, telah ditandatangani United Nations Convention Against Corruption (UNCAC-Konvensi PBB tentang Anti Korupsi) untuk pertama kalinya di Merida, Meksiko, pada 9 Desember 2003 lalu oleh 133 negara. Konvensi ini bertujuan meningkatkan tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi, meningkatkan kerjasama internasional (pengembalian aset), serta meningkatkan integritas dan akuntabilitas dan manajemen publik dalam kelola kekayaan negara. 

Indonesia sendiri, lewat rapat paripurna DPR, 20 Maret 2006 mengesahkan Undang-Undang No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003. Meski telah ditandatangani sejak 2003 dan diratifikasi pada awal 2006, banyak kalangan yang belum mengetahui apa isi dari UNCAC. Utamanya terkait dengan UU Pemberantasan Tipikor yang saat ini dipunyai Indonesia. Sampai saat ini Indonesia telah mengundangkan tiga UU tentang Pemberantasan Tipikor yaitu UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001. 

UNCAC menunjukkan kuatnya komitmen Pemerintah Indonesia untuk memerangi korupsi terutama dalam usaha mengembalikan aset dari luar negeri yang berasal dari hasil korupsi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan umum UU No. 7 Tahun 2006. 

Ada beberapa hal penting dalam UNCAC yang perlu mendapat perhatian. Paling tidak ada tiga hal yang menarik untuk dikaji, yaitu kriminalisasi, asset recovery dan kerjasama internasional. Terkait dengan rencana revisi UU Korupsi yang saat ini sedang berjalan, menurut Prof. Andi Hamzah, Ketua Tim Revisi UU Korupsi, sebisa mungkin muatan dalam UNCAC akan dimasukkan. 

UNCAC juga telah memperluas pengertian tindak pidana suap dalam ranah korupsi. Bentuk penyuapan yang dikriminalisasi tidak hanya tindak pidana penyuapan terhadap pejabat publik domestik, tetapi juga terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional. Disamping itu, penyuapan di sektor swasta pun dikategorikan sebagai tipikor. Meski demikian, korupsi di sektor swasta ini masih terbatas dalam hal penyuapan. 

Beberapa perkara korupsi di Indonesia menunjukkan kalangan swasta tidak luput dari jerat korupsi. Contoh paling gampang adalah dijeratnya beberapa rekanan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam perkara korupsi KPU. Namun yang perlu dicermati, rekanan KPU tersebut dijerat korupsi karena terbukti merugikan keuangan negara. Sedangkan di UNCAC tidak harus ada kerugian keuangan negara. Ada tiga hal dalam pasal 21 UNCAC terkait dengan penyuapan di sektor swasta. Pertama, subyek hukumnya adalah seseorang yang memimpin atau bekerja, dalam kapasitas, untuk suatu badan sektor swasta. Kedua, aktivitasnya terbatas pada sektor swasta yang bergerak di bidang atau dalam melaksanakan kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan. Ketiga, batasan sektor swasta. Sektor swasta adalah yang tidak termasuk dalam penjelasan keuangan atau perekonomian negara seperti yang disebutkan UU No. 31 Tahun 1999. 

Berikutnya asset recovery. Asset recovery adalah strategi baru pemberantasan korupsi yang melengkapi strategi yang bersifat pencegahan, kriminalisasi dan kerjasama internasional. Asset recovery ini mengatur soal tindakan pengembalian aset negara yang dikorupsi di luar negeri hingga mekanisme pengembalian aset. Hanya saja, sebagai hal yang baru ini akan menjadi tantangan bagi Indonesia. Sebab, asset recovery ini tidak ada padanannya dalam hukum Indonesia. Selain sesuatu yang baru, asset recovery ini juga akan mendapatkan tantangan lain. Misalnya soal kerjasama internasional dan sistem hukum di tiap negara yang jelas berbeda. Tidak bisa tidak, dalam memerangi kejahatan korupsi yang semakin canggih, terorganisir, dan bersifat transnasional, kerjasama antar negara menjadi pilihan utama. Ada tiga prinsip kerjasama yang harus diperhatikan, yakni adanya kepentingan politik yang sama, saling menguntungkan dan non intervensi. 

Ada lima bentuk kerjasama yang bisa dilakukan terkait dengan UNCAC. Ekstradisi (UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi), Mutual Legal Assistance (Bantuan Hukum Timbal Balik di Bidang Pidana - UU No. 1 Tahun 2006), Perjanjian Pemindahan Orang Yang sudah Dihukum (Transfer of Sentenced Persons), Perjanjian Pemindahan Pemeriksaan Kriminal (Transfer of Criminal Proceding) dan investigasi bersama. Sayang, sistem ekstadisi di Indonesia sebagai bagian dari bentuk kerjasama masih bersifat administratif dan cenderung politis karena ditentukan oleh Presiden.Selain ekstradisi, beberapa kalangan juga mempersoalkan MLA. Misalnya saja Yunus Husein. Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan itu berpendapat, dalam hal MLA Indonesia kurang progresif. Hal ini dapat dilihat dari keterlambatan Indonesia meratifikasi perjanjian MLA yang sudah ditandatangani dengan negara lain. Padahal, MLA cukup berperan dalam hal pengembalian aset. 

Dari tiga perjanjian yang dimiliki Indonesia, ada satu perjanjian yang walaupun sudah ditandatangani beberapa tahun lalu sampai saat ini belum diratifikasi. Yakni perjanjian MLA dengan Korea. Perjanjian MLA dengan Republik Rakyat China yang ditandatangani tahun 2000 baru saja diratifikasi DPR pada 2006. Sedangkan perjanjian MLA Multilateral dengan hampir seluruh negara anggota ASEAN sudah ditandatangani Nopember 2004, tetapi sampai hari ini belum diratifikasi. 

Indonesia tengah melakukan proses perundingan MLA bilateral dengan Hongkong dan perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Dua negara yang ditengarai menjadi tempat favorit bagi para koruptor mengamankan uang mereka. Di Hongkong, misalnya, Tim Pemburu Koruptor yang dipimpin Basrief pernah menemukan adanya rekening atas nama tersangka korupsi Bank Harapan Sentosa Hendra Rahardja. Sementara di Singapura, diperkirakan ada sekitar Rp 6-7 triliun dana tersangka korupsi yang diparkirkan di sana.Soal kerjasama internasional, perlu disoroti kelemahan diplomasi dan negosiasi perwakilan Indonesia. Kelemahan diplomasi ini semakin diperparah dengan lemahnya penegak hukum di tingkat nasional. Seringkali pihak luar mau membantu, tapi aparat Indonesia lambat responnya. 

Kesimpulannya, UNCAC akan memberikan dampak yang sangat signifikan dalam strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi yang telah terdapat dalam UU 31/1999, UU 20/2001 dan UU 30/2002 tentang KPK. Oleh karena, perlu diperhatikan kaitan antara UNCAC dengan sistem hukum di Indonesia. Hal yang pasti dilakukan menurut adalah harmonisasi antara UNCAC dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Memang substansi UNCAC menyinggung banyak UU. Misalnya saja,UU Korupsi, UU Pencucian Uang, UU Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), hingga UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (saat ini masih RUU KMIP). Selain UNCAC, awal tahun ini juga berlangsung Konferensi Masyarakat Sipil Antikorupsi diselenggarakan 24-26 Januari 2008, bersamaan dengan penyelenggaraan Second session of the Conference of the States Parties to the United Nations Convention against Corruption di Nusa Dua, Bali 28 Januari hingga 1 Februari 2008. Konferensi Masyarakat Sipil Antikorupsi dihadiri aktivis antikorupsi dari seluruh negara yang menandatangani Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption). 

Tak dapat disangkal, agenda pemberantasan korupsi telah menjadi agenda besar pemerintah Yudoyono-Kalla. Pengarusutamaan pemberantasan korupsi tidak hanya terdapat di dalam janji-janji kampanye pemilu, tapi juga telah diterapkan dalam berbagai bentuk paket kebijakan, pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan pengalokasian anggaran yang memadai untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meskipun telah muncul dampak lewat berjalannya proses hukum beberapa kasus korupsi dan munculnya dampak keterpantauan (deterrence effect), upaya hukum masih tebang pilih dan penciptaan sebuah tata pemerintahan yang baik masih sangat jauh dari harapan banyak pihak. Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan reformasi birokrasi lewat pembenahan sistem pengadaan, peningkatan profesionalitas, dan penerapan sanksi yang keras dan tegas. Transparancy International juga menyarankan adanya peningkatan transparansi dalam proses penganggaran agar dapat meminimalkan terjadinya transaksi korupsi. 

Korupsi di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime), untuk itu dalam penyelesaiannya pun harus dituntut dengan cara yang luar biasa pula. Berdasarkan hasil survei Transparency Indonesia 2007, menempatkan kepolisian sebagai urutan pertama, parlemen (DPR) menempati urutan kedua dan kejaksaan menempati urutan ketiga sebagai departemen terkorup. Ironisnya, ketiga departemen ini terkait dalam pemberantasan korupsi. 

Rumitnya masalah korupsi di Indonesia tercermin dari empat lingkaran yang saling mengkait, yaitu: Cendana, Istana, Pengusaha Naga, Militer (ABRI) , dan Multi National Cooperation (MNC). Pertama, Korupsi dilingkungan Cendana yang melibatkan Soeharto beserta keluarganya. Faktanya,misalnya- pada tanggal 17 September 2007, PBB melalui organisasi United Nations Office on Drug and Crime (UNODC) telah meluncurkan kerjasama StAR (Stolen Asset Recovery), telah mengumumkan bahwa mantan Presiden Soeharto adalah pemimpin paling korup di dunia dan diduga telah menjarah uang rakyat Indonesia sebesar 15 - 35 miliar dollar AS (1967-1998). 

Kedua, keterlibatan orang-orang di sekitar istana dalam kasus korupsi. Kasus di Pertamina-misalnya, dugaan korupsi pada Technical Assistance Contract (TAC) antara PT. Pertamina dengan PT. Ustalindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Dalam kasus tersebut tersangka dua mantan Menteri Pertambangan dan Energi pada era Pemerintahan Orde Baru, Ginanjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana. Kerugian negara diperkirakan sebesar 24.8 juta dollar AS. Kasus penjualan dua tengker raksasa (Very Large Crude Carrier-VLCC) yang melibatkan mantan Menteri BUMN, Laksamana Sukardi, dimana negara dirugikan US $ 50 juta. 

Ketiga, akibat dari kolusi antara para penguasa dengan pengusaha melahirkan korupsi yang merugikan negara triliun rupiah setiap tahunnya. Contoh kasus BAPINDO yang melibatkan Eddy Tanzil yang melarikan diri ke luar negeri setelah berhasil membobol Bank Pembangunan Indonesia, dimana negara dirugikan sebesar Rp 1,3 triliun. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan Agustus 2000, menyebutkan adanya penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI sebesar Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun.. 

Keempat, Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan militer-misalnya: kasus korupsi Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia (ASABRI). Dimana, Dirut Asabri Majet (purn) Subanda Midjaja 1995-1997, melakukan penyimpangan penggunaan dana dopisito milik Asabri sebesar Rp 410 miliar untuk dijadikan jaminan kredit di BNI 46 atas Henry Leo. 

Kelima, kuatnya tekanan negara asal dari MNC telah mempengaruhi Kebijakan Pemerintah Indonesia. Kasus EXXON mobil yang melakukan eksploitasi minyak di Laut Natuna-misalnya, Indonesia mendapat pembagian 0 % dan hanya menerima pajak pendapatan dari eksploitasi tersebut. Demikian pula dalam kontrak eksploitasi minyak di Cepu yang dimenangkan oleh EXXON tidak lepas dari campur tangan Pemerintah AS. 

Indonesia telah memiliki UU anti korupsi yang lengkap, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipandang sebagai lembaga ideal untuk memberantas korupsi. Namun, dalam pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan. Indonesia boleh dikatakan belum berhasil menarik uang negara yang dilarikan ke luar negeri. Berdasarkan data Departemen Hukum dan HAM, Indonesia sejak tahun 2003- sekarang baru berhasil menarik dana 3 juta dollar AS dari Australia. 

Cerita sukses pengembalian asset hasil korupsi yang dilarikan ke luar negeri, kita bisa belajar dari kesuksesan Pemerintah Nigeria dalam memberantas korupsi, khususnya dalam hal menarik dana korupsi hingga 2 milar dollar AS yang dikorup oleh mantan Presiden Sani Abacha (1993-1998). Kesuksesan tersebut merupakan kebijakan politik yang kuat dari Pemerintah Nigeria untuk mengembalikan asset negara yang diselewengkan dibarengi dengan penegakkan supremasi hukum. 

Belajar dari Nigeria, tampaknya Pemerintah belum memiliki kehendak politik yang kuat untuk mematuhi hukum dalam pemberantasan korupsi. Upaya Indonesia dalam tataran intenasional, seperti di UNTAC hanyalah kamuflase belaka. Hal ini disebabkan adanya kekuatiran Pemerintahan Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) dalam penanganan masalah korupsi karena hampir semua pemilik kekuatan ekonomi dan orang-orang dalam pemerintahan sekarang ini masih memiliki kaitan dengan penguasa dan pengusaha masa lalu yang korup. Sudah saatnya Pemerintahan SBY mengkaji ulang berbagai program, kebijakan, dan strategi anti korupsi dengan membenahi sistem pada perangkat penegakan hukum. Dimana, politik penegakan hukum harus diprioritaskan pada upaya pembersihan aparat hukum, parlemen, dan pejabat negara. SBY bisa bercermin pada mantan Perdana Menteri China Zhu Rongji yang bersikap keras dan tidak pandang bulu terhadap para koruptor, yang terkenal dengan pernyataannya: ”… sediakan 1000 peti mati untuk koruptor kelas kakap, pakai 999 untuk mereka dan sisakan 1 untuk saya, lalu masukan saya ke peti itu, jika kelak saya terbukti korup”
Tag : Koruptor
0 Komentar untuk "Korupsi"

Back To Top