Kasus Illegal logging di Indonesia -Karakteristik persoalan illegal logging di berbagai negara di atas dapat dikatakan serupa dengan di Indonesia, hanya dengan derajat yang berbeda. Masalah pokoknya ada pada struktur dan kinerja pemerintahan. Sudah menjadi informasi umum bahwa hutan Indonesia saat ini telah memasuki stadium sangat mengkhawatirkan keadaannya. Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan cukup luas. Hampir 90 % hutan di dunia dimiliki secara kolektif oleh Indonesia dan 44 negara lain. Bahkan, negeri ini juga disebut sebagai paru-paru dunia. Sayang, aset negara tersebut dirusak oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab melalui aksi pembalakan liar.
Kerusakan 2 juta hektar hutan rata-rata dari tahun 1996, puluhan bencana alam akibat kerusakan hutan pada tahun 2004 menjadi fakta yang tidak bisa diiindahkan. Sehubungan dengan itu komunitas internasional telah merumuskan kebijakan bersama dan dideklarasikan di Bali tahun 2001, yang berlabel Forest Law Enforcement and Governance (FLEG). Sebelumnya telah pula berkembang wacana pelaksanaan penundaan (moratorium) penebangan hutan, yang oleh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri diartikan sebagai "hutan perlu bernapas". Praktik penebangan liar dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, di mana pihak penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu. Untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk menjerat mereka dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.Selama tahun 1999-2000, beberapa laporan penting menyatakan parahnya penebangan liar di Indonesia dan menyoroti besarnya pengaruhnya terhadap lingkungan hidup, pengelolaan sumberdaya hayati, masyarakat, dan ekonomi.
Beberapa laporan yang lain mencoba mengkuantifikasi masalah, meskipun berdasarkan data perkiraan. Scotland dkk. 1999 menduga volume kayu yang diperoleh dari penebangan liar adalah 57 juta meter kubik pada tahun 1998, meningkat 16 juta meter kubik dari tahun sebelumnya. Walton 2000 memperkirakan angka laju penebangan hutan (sebanyak 2,7 juta ha/tahun) dan menduga kehilangan hutan dataran rendah di Sulawesi, Sumatra, dan Kalimantan selama 10 tahun.Hutan di Indonesia, termasuk di Papua sebagai salah satu paru-paru dunia memberikan peranan yang penting bagi kehidupan manusia di Indonesia maupun di dunia. Hutan juga memberikan manfaat serba guna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Hutan yang berada di Indonesia, 72% sudah rusak akibat illegal logging. Dan ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, termasuk hutan yang berada di Papua.
Illegal logging yang terjadi di tanah air ini (tak terkecuali di Papua), akibat lemahnya aparat terkait. Sehingga oleh pengusaha kayu khususnya mereka yang menjadi cukong kayu illegal logging, menganggap di Indonesia ini sudah tidak ada hukum lagi. Bagi mereka (cukong), aparat di Indonesia (Polri, TNI, polisi kehutanan, jaksa dan instansi lainnya), tunduk dengan cukong akibat uang. Pemerintah pernah mengklaim, sampai dengan 2005, memiliki kawasan hutan 126,8 juta hektare dengan berbagai pembagian fungsi. Yaitu, fungsi konservasi (23,2 juta hektare), kawasan lindung (32,4 juta hektare), hutan produksi terbatas (21,6 juta hektare), hutan produksi (35,6 juta hektare), dan hutan produksi konversi (14,0 juta hektare). Namun, beberapa waktu lalu, organisasi lingkungan dunia Green Peace menyebutkan, 72 % hutan Indonesia musnah. Kemudian, setengah wilayah hutan yang masih ada dalam kondisi terancam karena penebangan komersial, kebakaran hutan, dan pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit. Karena tingkat kerusakan yang begitu tinggi, Green Peace pernah mengusulkan penghargaan rekor dunia sebagai negara penghancur hutan tercepat.
Sementara itu, Departemen Kehutanan memperkirakan jumlah lahan hutan di seluruh Indonesia yang rusak akibat penjarahan mencapai 2,8 juta hektare per tahun. Hingga kini sudah mencapai 60 juta hektare. Kerugian yang diderita negara pun tidak sedikit, mencapai Rp 40 triliun-50 triliun per tahun.Perang terhadap praktik-praktik pembalakan liar sebenarnya telah digaungkan pemerintah. Pendukungnya adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Pemberdayaannya di Seluruh Wilayah RI. Namun, praktik-praktik ilegal tersebut ternyata masih terjadi.
Modus yang digunakan kian beragam. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) , modus pembalakan liar senantiasa berkembang, praktiknya selalu menyesuaikan diri, bahkan cenderung makin sistematis.Saat ini, setidaknya terdapat tiga modus yang tengah berkembang. Pertama, menggunakan surat izin yang tidak sesuai dengan isi yang tertera dalam surat izin. Misalnya, izin HTI (Hutan Tanaman Industri) yang seharusnya hanya untuk semak belukar, namun digunakan di hutan lindung..Kedua adalah sistem lelang. Dengan cara tersebut, oknum-oknum pembalak liar berusaha melegalkan kayu-kayu yang sebenarnya ilegal. Sedangkan ketiga, memanfaatkan masyarakat untuk melakukan pembakaran hutan.
Sedangkan di Aceh, ada empat faktor yang menyuburkan praktek illegal loggingnya, yakni faktor ekonomi masyarakat, proses rekonstruksi, permintaan dari pasar kayu internasional, dan kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan bahan baku bagi industri kehutanan nasional. Faktor terakhir ini jika dikaitkan dalam konteks mikro Aceh tidaklah terlalu berpengaruh besar, hal ini dimungkinkan dengan pemberlakuan kebijakan jeda tebang (moratorium logging) dan kebutuhan industri hilir kehutanan yang relatif kecil, tetapi jika kemudian ditarik dalam konteks makro secara lebih besar diluar kebutuhan industri hilir kehutanan Aceh, sangat dimungkinkan bahwa hutan Aceh dibabat untuk memenuhi industri hilir kehutanan diluar Aceh secara illegal.
Laporan NRM, MFP, Bappenas, dan FFWG pada tahun 2004 menunjukkan bahwa untuk pemenuhan 53 juta meter kubik kayu untuk kebutuhan industri kehutanan di Indonesia, 68% - nya berasal dari tebangan liar atau sekitar 36 juta meter kubik.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh - Nias, boleh saja berdalih bahwa kebutuhan kayu rekonstruksi bisa diatasi dengan pemenuhan kayu import dan kayu yang berasal dari kebun, atau dengan dalih mengontrol setiap pembangunan rehabilitasi dan rekonstruksi sebisa mungkin tidak menggunakan kayu illegal. Terlepas dari kebenaran dalih tersebut, kasus illegal logging di Aceh tetap merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan kayu rekonstruksi, asumsi pertama, dengan banyaknya pelaku rekonstruksi di Aceh, sangat tidak mungkin BRR Aceh - Nias mampu mengontrol setiap penggunaan kayu yang digunakan, kedua, pada masa rekonstruksi tidak ada pemegang konsesi pengusahaan hutan (HPH dan IPK) yang beroperasi dan, ketiga, pada pertengahan tahun 2007 Aceh telah memberlakukan kebijakan jeda tebang diseluruh hutan Aceh.
Indonesia adalah pemilik 126,8 juta hektar hutan. Hutan seluas ini merupakan tempat tinggal dan pendukung kehidupan 46 juta penduduk lingkar hutan. Namun, saat ini, hutan di Indonesia berada dalam kondisi kritis. Laju perusakan hutan di Indonesia mencapai 2 juta hektar per tahun. Artinya, tiap tahun Indonesia kehilangan areal hutan kurang lebih seluas Pulau Bali. Kerusakan hutan dipicu oleh tingginya permintaan pasar dunia terhadap kayu, meluasnya konversi hutan menjadi perkebunan sawit, korupsi dan tidak ada pengakuan terhadap hak rakyat dalam pengelolaan hutan.
Mengejutkan memang ketika melihat angka – angka pencatatan ekspor kayu Indonesia, terjadi perbedaan data 100 persen antara laporan volume ekspor dengan yang tercatat pada negara tujuan. Sebagai contoh, pada laporan ekspor kayu log Departemen Kehutanan, Indonesia mengekspor 4.500 meter kubik kayu log ke Australia, tetapi yang tercatat kenegara tujuan mencapai 32.000 meter kubik, artinya terjadi perbedaan hampir 86 persen, yang lebih mengejutkan justru terjadi pada Malaysia, Indonesia mencatatkan nol meter kubik ekspor kayu log ke negara ini, tetapi yang tercatat di Malaysia justru sejumlah 623 ribu meter kubik, kasus serupa hampir serupa terjadi pada ekspor kayu log Indonesia ke negara – negara Uni Eropa.
Sejak Inpres No 4 tahun 2005 tentang Penanggulangan dan Pemberantasan illegal logging dikeluarkan, 80 % keberhasilan pemberantasan illegal logging telah tercapai pada penyitaan barang bukti. Sedangkan 20 % lainnya soal pelaku dan cukong yang berada di balik aksi perambahan hutan di berbagai Provinsi Indonesia. Dalam menangani kasus illegal logging baik di secara global maupun di Indonesia pada khususnya, hal yang paling penting untuk dilaksanankan adalah penegakan hukum secara tegas dan konsisten, dalam artian semua peraturan dan hukum – hukum yang ada bukan hanya berupa “ pasal – pasal dalam tumpukan kertas “ tetapi yang paling penting adalah pelaksanaan hukum – hukum tersebut sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku maupun oknum yang terlibat dalam kasus illegal logging. Pengkoordinasian antara semua pihak – pihak yang terkait mulai dari tingkat menteri, dinas kehutanan, petugas AMDAL, polisi, masyarakat, dan semua unsur – unsur yang terkait dapat bekerja sama dalam menangani permasalahan – permasalahan tersebut, karena realitas yang ada di lapangan cenderung pihak – pihak yang seharusnya bertugas mengatasi permasalahan tersebut justru membantu para pelaku pembalakan liar. Bahkan tidak sedikit yang menjadi pelaku illegal logging itu sendiri. Pengkoordiansian antara semua pihak – pihak yang dimaksud yaitu adanya kesatuan suara dari semua pihak tersebut untuk menghindari kesalahpahaman dalam menangani kasus illegal logging, seperti misalnya dalam penanganan beberapa kasus illegal logging di mana polisi telah menangkap para pelaku
Tag :
Hukum
0 Komentar untuk "Kasus Illegal logging di Indonesia "