Variasi Bahasa dari Segi Penutur



Variasi Bahasa dari Segi Penutur 

(a) Idiolek 

Idiolek adalah sifat-sifat khusus (karakteristik) pemakaian bahasa perseorangan. Setiap penutur mempunyai sifat-sifat khas yang tidak dimiliki oleh penutur yang lain. Sifat-sifat khas seperti itu disebabkan karena faktor fisik maupun faktor psikis. Sifat-sifat khas yang disebabkan oleh faktor fisik, misalnya karena perbedaan bentuk atau kualitas alat-alat tutur (bibir, gigi, lidah, selaput suara, rongga mulut, rongga hidung, dan sebagainya). Sedangkan sifat-sifat psikis biasanya disebabkan antara lain: perbedaan watak, temperamen, intelegensi, sikap mentalnya, maupun yang lain. Baik faktor fisik maupun faktor psikis mengakibatkan sifat khas pula dalam tuturannya. 

Idiolek dapat berkenaan pula dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Yang paling dominan adalah “warna” suara, jika kita cukup akrab dengan seseorang, hanya dengan mendengar suara tanpa melihat orangnya, kita sudah dapat mengenalinya. 

(b) Dialek 

Sekelompok penutur merupakan anggota masyarakat dari daerah tertentu atau khas sosial tertentu. Perbedaan latar belakang asal daerah atau kelas sosial penutur seperti itu menimbulkan variasi dalam pemakaian bahasanya. Variasi yang timbul karena perbedaan asal daerah penuturnya disebut dialek geografis, atau dialek areal, atau dialek regional. Misal: bahasa Jawa dialek Banyumas, bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Surakarta, bahasa Jawa dialek Surabaya, dan lainnya. 

Variasi yang disebabkan oleh perbedaan status, golongan, dan kelas sosial penuturnya disebut dialek sosial atau sosiolek. Variasi ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya, seperti: umur, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut kita bisa melihat perbedaan variasi bahasa yang digunakan seorang penutur atau mitra tutur. 

Variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu disebut dialek temporal atau kronolek. Umpamanya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun 30-an, variasi yang digunakan tahun 50-an, dan variasi yang digunakan pada masa kini. 

Di dalam masyarakat tutur yang masih mengenal tingkat-tingkat kebangsawanan dapat kita lihat variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat-tingkat kebangsawanan itu, yang disebut dengan undak-usuk (bahasa Jawa) atau sor singgih (bahasa Bali). Undak-usuk ini menyebabkan penutur dari masyarakat tutur tersebut perlu mengetahui lebih dahulu kedudukan tingkat sosialnya terhadap mitra tuturnya. Adakalanya mudah, tetapi seringkali tidak mudah. Sebab seseorang mungkin lebih tinggi status sosialnya terhadap mitra tuturnya, tetapi lebih muda usianya. Atau mungkin lebih tua usianya, tetapi lebih muda menurut hierarkhi perkerabatannya, dan sebagainya. Ditambah dengan adanya semacam “kode etik” untuk tidak menyebut dirinya dengan tingkat bahasa tinggi, maka masalah ketepatan pemilihan variasi sesuai dengan status sosialnya ini menjadi cukup rumit dalam pemakaian bahasa tersebut. 

Sehubungan dengan variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya; biasanya orang mengemukakan variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argon, dan ken. 

Akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada variasi sosial lainnya. Sebagai contoh: bahasa bagongan yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton Jawa; bahasa Perancis dialek kota Paris dianggap lebih tinggi derajatnya daripada dialek-dialek Perancis lainnya; dewasa ini tampaknya dialek Jakarta cenderung semakin bergengsi sebagai salah satu ciri kota metropolitan, sebab para remaja di daerah yang pernah ke Jakarta merasa bangga bisa berbicara dalam dialek Jakarta. 

Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dianggap rendah. Bisa dicontohkan: bahasa Inggris yang digunakan oleh para cowboy dan kuli tambang, bahsa Jawa “krama ndesa”, dan yang lain. 

Vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan. Pada zaman Romawi sampai zaman pertengahan bahasa-bahasa di Eropa dianggap sebagai bahasa vulgar sebab pada waktu itu para golongan intelek menggunakan bahasa Latin dalam segala kegiatan mereka. 

Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Kosakata yang digunakan dalam slang itu selalu berubah-ubah. Slang bersifat temporal dan lebih umum digunakan oleh kaum muda. Bahasa prokem dapat dikategorikan sebagai slang. 

Kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis, tidak tepat pula jika disebut bahasa “kampungan” atau bahasa kelas golongan bawah, sebab yang penting adalah konteks dalam pemkaiannya. Bentuk-bentuk kolokial seperti: dok (untuk dokter), prof (untuk profesor), ndak ada (untuk tidak ada), dan lain sebagainya. 

Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia. Umpamanya, dalam kelompok perbengkelan, seperti: roda gila, didongkrak, dices, dibalans, dipoles. 

Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argot adalah pada kosakata. Umapamanya; dalam dunia kejahatan pernah digunakan ungkapan seperti barang dalam arti ‘mangsa’, kacamata dalam arti ‘polisi’, daun dalam arti ‘uang’, gemuk dalam arti ‘mangsa besar’, tape dalam arti ‘mangsa yang empuk’. Yang dimaksud dengan ken adalah variasi sosial tertentu yang bernada memelas, dibuat merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis.
0 Komentar untuk "Variasi Bahasa dari Segi Penutur"

Back To Top