Aliran Linguistik



Aliran Linguistik 

a. Aliran Tradisional 

Aliran atau tata bahasa tradisional mempunyai ciri pembeda sebagai berikut: 

1) Tidak ada pengenalan akan perbedaan-perbedaan antara bahasa ujaran dan bahasa tulisan. 

2) Pemerian bahasa berdasarkan/memakai patokan-patokan bahasa Latin. 

3) Menghakimi penggunaan bahasa dengan vonis benar-salah. 

4) Memberikan pemerian atau memutuskan persoalan kebahasaan seringkali melibatkan logika. 

5) Cenderung menggandrungi atau bahkan mempertahankan penemuan-penemuan terdahulu. 

(6) Memberikan pemerian bahasa dengan berdasarkan pada satu bentuk bahasa yang s angat disukainya yaitu bahasa tulisan baku (standardised written form) 

(7) Menurunkan definisi yang mengaburkan. 

b. Aliran Struktural Kontinental 

Aliran struktural Continental dipelopori oleh Ferdinand de Saussure dengan bukunya “Cours de Linguistique Generale” (1916) (=Inggris: Course in General Linguistics) (Indonesia: Pengantar Linguistik Umum). Yang merupakan rangkaian kuliahnya antara tahun 1906-1911. Berdasar konsep-konsepnya, de Saussure disebut sebagai bapak linguistik modern. 

Kesan umum didapat bahwa buku itu mempunyai sejumlah pandangan yang bahkan sampai sekarang masih tetap penting untuk diketahui, dikaji, serta dibicarakan manfaat tidaknya, yang berupa dikotomi-dikotomi, seperti (1) sinkronik vs diakronik, (2) la langue vs la parole, (3) signifikan vs signifié, (4) paradigmatik vs sintagmatik, dan (5) bentuk vs substansi. Kelima hal itu akan diuraikan secara berurutan di bawah ini. 

1) Sinkronik vs Diakronik 

Linguistik sinkronik mempelajari bahasa tanpa memersoalkan urutan waktu. Perhatian ditujukan pada bahasa sejaman yang diujarkan oleh pembaca; jadi, dapat dikatakan bersifat horisontal. 

Kata diakronis (Yunani: dia = melalui, khonas = waktu, masa). Diakronis diartikan subdisiplin linguisitk yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa dari masa ke masa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa studi ini bersifat vertikal. Misalnya menyelidiki perkembangan bahasa Indonesia (dulu disebut bahasa Melayu) yang dimulai dengan adanya prasasti di Kedukan Bukit sampai kini. 

2) Langue dan Parole 

Saussure memakai istilah Perancis langue dan parole untuk membedakan bahasa sebagai sistem yang bersifat sosial dan bahasa sebagai ujaran yang bersifat perseorangan, dan langue yang bersifat abstrak, sedangkan parrole bersifat konkrit. Keduanya itu dihubungkan: parole adalah aspek perseorangan bahasa, sebagaimana dimanisfetasikan dalam kenyataan psiko-psikologi dan sosial dari tindak-tindak bahasa secara khusus. Langue adalah bagian sosial bahasa, di luar pemakai perseorangan, yang tidak dapat menciptakan atau mengubahnya. Biarpun bagi kami langue ternyata terdapat pada tingkatan yan glebih abstrak dari pada parole. Langue adalah bahasa tertentu, misalnya bahasa Inggris, Indonesia, dan sebagainya; sedangkan parole berarti logat, ucapan, tuturan. 

3) Signifiant dan Signifié 

Jika dalam Cours Saussure mementingkan hubungan (antara urutan bunyi dan konsepnya) sebagai tanda bahasa, sebenarnya yang lebih penting ialah bahwa tanda bahasa itu mempunyai dua sisi, yaitu signifiant dan signifié. Sekarang, dua sisi itu biasa diberi nama bentuk dan isi (= arti). Ata yang diucapkan sebagai rumah adalah bentuk yang mengandung arti ‘rumah’. Makna ini adalah abstraksi dari sesuatu yang ada di dunia luar bahasa (extra linguistic word). Kalau kita mengucapkan rumah terdengar pada kita rentetan bunyi [r,u,m,a,h] yang kalau ditulis menjadi rumah. Apa yang kita dengar itu adalah signifiantnya; terbayangkan jendelanya, pintunya, atapnya, dan semua ini menghasilkan konsep rumah di benak kita. 

4) Sintagmatik dan Paradigmatik 

Manfred Bierwisch (1871; 19-20 dalam Pateda, 1988) mengatakan “syntagmatic relations specify the combination of element into complex form and sentences paradigmatic relations are the relations between the element of the language system”. Jadi, kalau kita berkata Rumah si-Ali akan dijual kita melihat bentuk rumah yang dihubungkan dengan bentuk lain yang berbentuk suatu keutuhan. Hubungan itulah yang disebut hubungan sintagmatik. Sebaliknya, kalau kita perhatikan bentuk-bentuk: 

rumah 

rumahnya 

merumahkan, dan sebagainya 

Kita melihat hubungan antara rumah dan bentuk-bentuk di bawahnya, hubungan seperti itulah yang disebut hubungan paradigmatik. 

c. Aliran Strukturalisme Amerika 

Tahun 1933, terbitlah karya besar Blommfield yang berjudul “Language”. Judul buku itu sama dengan judul buku Sapir yang diterbitkan 12 tahun sebelumnya. Buku itu terdiri atas 600 halaman, merupakan karyanya yang paling besar, isinya padat, sehingga sampai sekarang buku itu tetap tidak tersaingi. Bloomfield sangat dipengaruhi oleh ilmu jiwa (behaviourisme). Ia sangat mengagumi A.P. Weiss, salah seorang pelopor ilmu jiwa behaviorisme, dan ia pun terpengaruh olehnya. Akibatnya pengaruh yang merusak jiwanya itulah sehingga ia mengubah dasar pikiran yang dituangkan dalam bukunya yang pertama “An Introduction to Linguistic Science” (1914) dan menyesuaikannya dengan pandangan mekanistik penganut behaviorisme. Begitu terpengaruhnya pada pandangan behaviorisme itu sehingga di dalam esei-esei yang ditulisnya untuk “International Encyclopedia of Unified Science”, ia menyatakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oelh metode ilmiah yang dapat dibatas dengan merujuk ke acuan behaviorisme. 

Pandangannya tentang penggunaan bahasa (the use of language) dirumuskannya dengan rumus “Rangsangan dan Tanggapan”, yang digambarkan dengan formula R --- t . . . r --- T. Maksudnya: Suatu rangsangan ini merupakan pengganti bahasa-bahasa (t). Bagi pendengar, hal itu merupakan rangsangan pengganti bahasa (r) yang menyebabkan dia memberi tanggapan praktis (T). R dan T adalah “peristiwa praktis” yang seakan-akan tinggal di luar bahasa; t dan r adalah peristiwa-peristiwa bahasa (Samsuri, dalam Soejono, 1987: 14). 

Ada 4 cara menurut Bloomfield menyusun bentuk (form): 

1) order (urutan), – Ali memukul Badu >< Badu memukul Ali. 

2) modulation (penggunaan fonem sekunder), -- John >< John? 

3) phonetic modification (modifikasi fonetik), -- do not >< don’t. 

4) selection (memberikan satu faktor makna oleh karena bentuk yang berbeda memberikan makna yang berbeda pula). 

Dengan demikian, dalam bentuk bahasa tercakup kelas-kelas dan bagian-bagian kelas, seperti kata verba (verbs), nomina, adjektiva (adjectives), dan sebagainya. 

Suatu ciri sederhana tatanan gramatikal merupakan ciri gramatikal atau taxeme, sedangkan taxeme itu merupakan satuan bentuk yang terkecil. Taxeme itu terjadi dalam susunan gramatikal yang konvensional yang dinamakan juga tactic form (bentuk taktik). Bentuk taktik beserta makna yang dikandungnya itulah yang dinamakan bentuk gramatikal (grammatical form). Bentuk gramatikal yang terkecil disebut juga tagmene. 

Bentuk gramar dikelompokkannya menjadi tiga kelas, seperti berikut: 

(1) Sentence type (tipe kalimat), --kalimat berita, kalimat tanya, dan sebagainya; 

(2) Construction (konstruksi). Konstruksi ini dinamakan Syntax kalau tidak terdapat bentuk terikat di antara konstituennya, contoh: John ran; Ita slept. Dan dinamakan morfologi, apabila konstituennya terdiri bentuk terikat, seperti: -ess dalam duke + ess –duchess; lion + ess –lioness. 

(3) Substitution (substitusi), apabila bentuk gramar itu merupakan suatu bentuk penggantian konvensional terhadap satu kelas dari bentuk lain. 

Contoh: pronouns (kata ganti). 

d. Aliran Fungsional 

Dalam pembicaraan tentang ilmu bahasa fungsional, kita tidak dapat memisahkan diri dari dua orang tokohnya, yakni Roman Jakobson dan Andre Martinet. Berikut ini akan disajikan kedua tokoh itu dengan gagasan mereka. 

1) Roman Jakobson 

Roman Jakobson adalah seorang ahli waris yang sangat penting dari Aliran Praha. Gagasan fungsi bahasa, yang merupakan ciri khas Aliran Praha, menempati kedudukan penting karya-karya Jakobson. Jakobson tidak hanya memasukkan unsur-unsur yang istimewa, tetapi ia juga memasukkan fungsi aktivitas bahasa itu sendiri. 

Hal yang baru, di samping identifikasi dari akustik ciri distingtif, ialah oposisi dwimatra yang dapat dipakai untuk menganalisis semua sistem fonologi yang dikenal. Oposisi dwimatra itu secara hipotetik menampilkan kesemestaan bahasa. Ada dua belas ciri oposisi dwimatra yang diperkenalkan oleh Jakobson. Kedua belas oposisi ini dapat dikelompokkan dalam ciri sonoritas (sembilan yang pertama), yang sana dengan ciri tekanan dan kuantitas. Kedua belas ciri oposisi dwimatra itu sebagai berikut. 

(1) Vokalik lawan non-vokalik: 

ada lawan tidak adanya struktur forman yang dibatasi secara tajam. 

Ada lawan tidak adanya eksitasi tunggal atau primer pada glotis dan celah bebas melalui sistem vokal. 

Vokal dan likuida lawan konsonan dan luncuran. 

(2) Konsonantal lawan non-konsonantal: 

energi keseluruhan yang rendah lawan yang tinggi, 

ada lawan tidak adanya hamabtan pada sistem vokal, 

konsonan dan likuida lawan vokal dan luncuran. 

(3) Kompak lawan tersebar: 

konsentrasi energi yang tinggi lawan yang rendah di dalam wilayah spektrum pusat yang relatif sempit, 

forward flanged lawan backward flanged, 

vocal tract yang dapat berbentuk tanduk lawan yang berbentuk resonator Helmholtz (rongga luas dengan membuka tempat leher dilekatkan), 

vokal terbuka lawan vokal tertutup, 

konsonan velar dan palatal lawan konsonan labial. 

(4) Tenseness lawan lexness: 

energi tinggi lawan energi rendah, 

penyebaran energi yang besar lawan yang kecil dalam spektrum dan waktu, 

deformasi vocal tract yang lebih besar lawan yang lebih kecil, 

tense, fortis, beraspirasi lawan lax, lenis, tak beraspirasi. 

(5) Bersuara lawan tak bersuara: 

ada lawan tidak adanya eksitasi frekuensi rendah yang periodik, 

ada lawan tidak adanya getaran periodik selaput suara, 

bersuara lawan tak bersuara. 

(6) Nasal lawan oral: 

besar lawan sempitnya frekuensi daerah penyebaran energi, 

ada lawan tidak adanya forman tambahan, 

pengantar lawan eksklusi dari resonator nasal, 

nasal lawan oral. 

(7) Discontinuous [interupted] lawan continuant: 

jeda yang diikuti dan atau didahului oleh penyebaran energi pada sebuah daerah frekuensi yang luas (sebagai ledakan atau transisi yang cepat dari forman lokal) lawan tidak adanya perubahan mendadak di antara bunyi dan jeda semacam itu. 

ada lawan tidak adanya penutupan yang cepat dan atau pembukaan artikulasi vokal atau dari satu detak atau lebih, 

hambat dan afrikat lawan kontinuan, 

likuida getar dan detak lawan likuida kontinuan. 

(8) Nyaring lawan merdu: 

intensitas suara yang tinggi lawan yang rendah, 

berujung kasar lawan berujung halus, 

labiodental, sibilan, uvular lawan bilabial, interdental, konstruktif, velar, 

afrikat lawan hambat. 

(9) Yang dicek lawan yang tak dicek: 

jumlah pelepasan energi yang tinggi lawan yang rendah, 

konstriksi pinggiran lawan konstriksi pusat, 

konsonan velar, labian lawan konsonan palatal dan dental, 

vokal depan lawan vokal belakang. 

(10) Grave lawan akut: 

konsentrasi energi yang rendah lawan yang tinggi dalam spektrum, 

konstriksi pinggiran lawan konstriksi pusat, 

konsonan velar, labian lawan konsonan palatal dan dental, 

vokal depan lawan vokal belakang. 



(11)Flat lawan plain: 

ada lawan tidak adanya giliran menurun atau melemah dari beberapa komponen dengan frekuensi yang lebih tinggi, 

celah sempit lawan celah lebar, 

ada lawan tidak adanya faringgalisasi, velarisasi, retrofleksi, dan pembundaran bibir. Satu label sudah karena ciri ini tidak pernah berfungsi distingtif dalam konteks fonemik yang sama. 

(12)Sharp lawan plain: 

ada lawan tidak adanya gerakan ke atas dari komponen frekuensi yang lebih atas, 

celah yang sempit lawan celah yang lebar, 

ada lawan tidak adanya hambatan dalam rongga mulut, 

palatalisasi lawan bukan palatalisasi. 

. 2) Andre Martinet 

Tokoh yang tidak boleh dilupakan dalam meneruskan aliran fungsional ialah Andre Martinet. Martinet mempunyai minat yang beragam dalam dunia ilmu bahasa, yang saling menunjang: fonologi deskriptif, fonologi diakronik, sintaksis, linguistik umum. 

Pada tahun 1946, ia memberikan kuliah fonologi di London. Kuliahnya itu diberi judul Phonology as Functional Phonetics. Bagi Martinet, fonologi harus menafsirkan fakta fonetik yang merupakan data dasar dan bukan sekedar realisasi abstrak dari sistem yang berbeda. 

Persyaratan kehematan sintagmatik (untuk mewakili gugus konsonan dari unsur-unsur oleh unsur unik yang baru) dan kehematan paradigmatik (untuk mewakili sebuah unsur dengan sebuah gugus konsonan yang tidak ada dari unsur yang muncul dalam temuan) adalah oposisi paradigmatik. 

Jika sebuah bahasa mempunyai hanya mempunyai tiga buah vokal, maka vokal itu akan berupa vokal i, u, dan a, dan bukan berupa vokal e, E, atau i, e, a, dan sebagainyaAnalisis fonem ke dalam ciri distingtif menunjukkan adanya korelasi. Sebuah fonem yang dimasukkan ke dalam sebuah kelompok korelasi akan lebih mantap daripada fonem yang tidak dimasukkan ke dalam kelompok korelatif. Sebuah kekosongan dalam sebuah pola mungkin saja dapat diisi oleh sebuah fonem yang baru. Integrasi yang lengkap akan menghasilkan sebuah sistem yang sempurna dengan jumlah fonem maksimum yang dibangun dengan sejumlah minimum ciri distingtif. Sistem ini tidak dapat ditambah lagi dan tidak akan ada alasan untuk mengubahnya. 

Belakangan, Martinet juga menerapkan pandangan fungsionalnya dalam sintaksis, dan mensintesiskan teorinya dalam eksposisi yang lengkap dan seimbang dalam: Elements of Linguistics dan A Functional View of Language. 

Martinet juga menggarisbawahi bahwa sintaksis dan juga fungsi merupakan makna sentral. Pandangan struktural tidak dapat diperbaharui dengan pandangan fungsional, sebaliknya, bagi Martinet, sebenarnya hal itu merupakan komplemen logisnya. Pilihan label fungsional, alih-alih struktural, menunjukkan bahwa aspek fungsional adalah aspek yang paling ditonjolkan dan tidak harus dikaji dengan mengesampingkan yang lain. 

d.Aliran Transformasi 

Tokoh aliran transformasi adalah Noam Comsky. Chomsky adalah seorang guru besar linguistikdi MIT (Massachusetts Intsitut of Technologi), yang merupakan murid Z.S. Harris. Chomsky menjadi sangat terkenal dengan bukunya yang berjudul Syntactic Structure (1957). Dengan munculnya buku ini, timbul fase linguistik baru, revolusi ilmiah dalam bidang linguistik. 

Chomsky melihat bahwa pendekatan yang duipergunakan oleh Bloomfield dan pengikut-pengikutnya yakni pendekatan IC perlu disempurnakan. Dikatakannya bahwa hasil tingkatan-tingkatan telaah linguistik seperti, fonetik, fonemik, morfologi, dan sintaksis belumlah merupakan prosedur untuk mencapai telaah linguistik berupa deskripsi kaidah bahasa secara menyeluruh. 

Buku yang kedua berjudul Aspect of the Theory of Sintax (1965), di dalamnya menampakkan pendirian yang tegas, yakni keluar dari Bloomfidian. Teorinya terkenal dengan nama tata bahasa transformasional generatif (Transformational Generative Grammar) atau tata bahasa trasnformasi atau tata bahasa generatif (Pateda, 1988:40-41). 

Menurut teori ini, tiap manusia menggunakan bahasa yang tercermindalam kalimat-kalimat. Tiap kalimat yang lahir bagaimanapun bentuknya, terdiri dari sejumlah elemen dasar dan mempunyai struktur. Tiap kalimay yang lahir barangkali akan muncul lagi pada situasi yang lain. Hal ini disebut disebut prosedur rekursif (recirsive prosedure). Tiap kalimat yang dihasilkan oleh alat bicara manusia menampakkan diri secar bersama-sama yang terdiri dari struktur dalam (deep structure) dan struktur luar (surface srtucture). Struktur luar berwujud apa yang kita dengar atau apa yang kita lihat kalau tertulis. Struktur dalam merupakan abstraksi dari apa yang didengar atau dilihat. 

Untuk menghasilkan kalimat tersebut, manusia harus memiliki kompetensi (competence) tentang bahasa, dan bagaimana ia harus menampilkan (performence) apa yang diinginkannya dalam wujud bahasa. Kemampuan-kemampuan inilah yang merupakan objek tata bahasa generatif. Tiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menghasilkan kalimat. Hal ini disebut aspek kreatif bahasa. Kemampuan seseorang bergantung kepada: 

1) Tingkat pendidikan 

2) Pengalaman 

3) Kesigapan menambah kosa kata, baik dengan jalan membaca,maupun mendengar(kan). 

Bagaimana kita menggambarkan kemampuan si pemakai bahasa untuk menghasilkan dan mengerti makna kalimat yang tak terbatas jumlahnya itu, itulah yang menjadi tugas tata bahasa. 

Menurut Chomsky, setiap tata bahasa harus memenuhi dua syarat, yakni: 

a) Kalimat yang dihasilkan haruslah kalimat yang berfungsi dalam ujaran, dan 

b) Istilah yang dipakai jangan harus didasarkan pada satu bahasa saja, tetapi harus beersifat sejagat (universal). 

Dengan tegas Chomsky mengemukakan bahwa tata bahasa setiap bahasa harus terdiri dari tiap komponen, yakni; 

a) Sintaksis, 

b) Semantik, dan 

c) Fonologi. 

Komponen sintaksis merupakan pusat, dalam arti komponen inilah yang menentukan arti kalimat dan komponen ini pulalah yang menggambarkan aspek kreativitas bahasa. 

Perbedaan buku pertama dengan buku kedua ialah: 

a) Buku pertama terdiri atas: 

(1) Phrase strukture 

(2) Transformasi 

(3) Morfofonemik; 

b) Buku kedua struktur tersebut pada buku I diubah menjadi: 

(1) Nomor satu dan dua masuk bidang sintaksis yang terdiri dari (a) pola kalimat dasar, dan (b) transformasi 

(2) Fonologi 

(3) Semantik. 

Meskipun pada tahun 1964 teori Chomsky belum berumur 10 tahun, telah banyak dikemukakan kritik terhadap teori ini, isalnya yang dikemukakan oleh Jerrold J.Katz dan Paul M.Pastal (1964), dalam buku yang berjudul An Interprete Theory of Linguistic Deskription. Mereka mengusulkan integrasi teori sintaksis transformasi generatif Chomsky dengan teori semantik Katz dan Jerry A.Fodor. 

Kritik yang sama dikemukakan pula oleh E.M.Uhlenbeck (seorang guru besar linguistik di Universitas Leiden, Belanda) dalam bukunya yang berjudul Critical Comment on Transformational Generative Grammar. Buku kedua tulisan Chomsky tersirat pengertian bahwa menyusun tata bahasa harus: (1) sederhana, (2) tuntas, dan (3) hemat.
0 Komentar untuk "Aliran Linguistik "

Back To Top