Persoalan HAM di Indonesia

Persoalan HAM di Indonesia 


Namun demikian, perkembangan HAM di tanah air sesungguhnya masih
memprihatinkan. Kita bisa melihat bagaimana kebebasan politik belum dinikmati oleh
kelompok minoritas agama, termasuk kelompok minoritas dalam suatu agama. Para pemeluk
agama-agama minoritas, seperti, kaum Bahai, penganut agama/aliran kepercayaan tetap
diperlakukan secara khusus berbeda atau didiskriminasi oleh negara. Sejumlah daerah juga
memberlakukan perda bermuatan syariah yang sangat bertentangan dengan konsep
penghormatan kepada hak asasi manusia.
 Demikian pula kelompok minoritas dalam agama, misalnya Ahmadiyah terus
mengalami diskriminasi dan pengawasan oleh negara. Selain itu, kelompok minoritas politik,
seperti, mantan tahanan/narapidana politik PKI atau yang didakwa anggota atau simpatisan
PKI dan partai-partai kiri terus mengalami pengingkaran hak-hak politik mereka oleh negara.
 Gagasan politik revolusioner kiri atau komunisme, dan gagasan negara Islam, dan
para pendukung gagasan-gagasan tersebut tetap terus diwaspadai dan dicurigai oleh sebagian
masyarakat dan pemerintah. Kebijakan pemerintah melalui Kejaksaan Agung yang tetap
melarang beredarnya sejumlah buku yang di nilai menyebarkan gagasan dan ajaran kiri, serta
kebijakan Mendiknas yang menarik dari peredaran buku pelajaran sejarah yang di revisi,
berkenaan dengan Peristiwa G30S, menunjukkan kewaspadaan dan kecurigaan penguasa
terhadap gagasan atau pendapat yang berbau kiri yang dinilai radikal. Sikap dan pandangan
penguasa ini jelas akan memberikan pengaruh negatif pada kondisi perwujudan hak sipil dan
politik di Indonesia.
 Upaya Komnas HAM untuk mengungkap pelanggaran HAM berat yang pernah
terjadi sebagai buntut dari Peristiwa G30S juga selalu menemui jalan buntu dan menghadapi
berbagai ancaman dari kelompok militer dan sejumlah organisasi massa Islam. Sejumlah
teror dan camanan, juga demonstrasi telah diarahkan kepada Komnas HAM dan para
komisioner sehubungan dengan pembentukan Tim Ad Hoc Kejahatan 1965. Sejumlah
mantan jendral dan pejabat pemerintah secara nyata juga menlakukan upaya untuk
menghalangi penyelidikan Komnas HAM sehubungan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
 Kebebasan politik yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia ternyata juga tak
diimbangi dengan perlindungan hukum yang semestinya bagi hak-hak sipil, seperti, hak atas
kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan dari penyiksaan, atau perlakuan atau
hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak atas
pemeriksaan yang adil dan proses hukum yang semestinya, hak atas pengakuan pribadi di
depan hukum, dan larangan atas propaganda untuk perang dan hasutan kebencian. Dari
berbagai daerah, seperti, Poso, Lombok, Papua, juga Jakarta, dan tempat-tempat lain di
Indonesia, dilaporkan masih terjadi kekerasan horisontal yang melibatkan unsur-unsur polisi
dan militer. Penganiayaan dilaporkan masih terus di alami oleh kelompok-kelompok
masyarakat, seperti, buruh, petani, masyarakat adat, kelompok minoritas agama, dan para
mahasiswa.
 Parahnya lagi, dalam hampir setiap peristiwa kekerasan horisontal, aparat keamanan,
seperti polisi seolah-olah tidak berdaya melindungi kelompok-kelompok yang menjadi
sasaran kekerasan tersebut. Laporan-laporan HAM yang dikeluarkan oleh LSM dan PBB
menyatakan, penyiksaan masih terus terjadi di pusat-pusat penahanan di kepolisian. Selama
hampir sepuluh tahun terakhir ini, Sistem hukum dan jajaran aparaturnya, seperti, polisi,
jaksa, dan hakim tidak mampu menjawab secara semestinya kasus-kasus kekerasan horisontal
dan vertikal yang melibatkan aparat polisi dan atau tentara. 3
 Kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti, kasus pembunuhan,
penculikan, penahanan sewenang-wenang terhadap ratusan ribu orang yang disangka
mempunyai kaitan dengan PKI, kasus Talangsari, dan lain sebagainya sampai hari ini belum
memperoleh penanganan yang adil. Mereka yang diduga keras terlibat melakukan
pelanggaran HAM berat (Kejahatan terhadap Kemanusiaan) tetap bebas berkeliaran tanpa
pernah tersentuh oleh hukum.
 Kalaupun ada sejumlah pelaku pelanggaran HAM yang diajukan ke pengadilan,
biasanya para terdakwa itu akan dikenakan pasal pidana ringan, misalnya, antara lain, kasus
penembakan para petani oleh Polisi, di Manggarai, biasanya para terdakwa itu akan
dikenakan pasal pidana ringan, dan akhirnya dikenakan hukuman ringan, antara 1, 2 tahun
atau beberapa bulan saja, atau bahkan dibebaskan samasekali, seperti, dalam kasus-kasus
pelanggaran HAM di Timor-Timur pasca jajak pendapat 1999, dan kasus Tanjung Priok
1984.
 Hal inilah yang kemudian menjadi budaya pembiaran (culture of impunity) yang terus
menjangkiti sistem hukum dan aparaturnya, seperti Polisi, Jaksa dan Hakim, terutama ketika
aparat penegak hukum harus menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan
polisi dan tentara. Budaya pembiaran inilah yang melumpuhkan setiap upaya penegakan
hukum. Budaya impunity itu bila dibiarkan terus berkembang dalam jangka waktu yang tidak
terlalu lama akan menghancurkan kedaulatan hukum, dan pada gilirannya akan
menghancurkan sistem demokrasi itu sendiri.
 Kejahatan terorisme telah menimbulkan korban, berupa hilangnya nyawa manusia,
dan hancurnya harta benda miliknya. Kejahatan terorisme telah menimbulkan rasa takut dan
tidak aman yang relatif luas di kalangan masyarakat sipil. Pada sisi yang lain kejahatan
terorisme di Indonesia telah mengundang lahirnya UU Anti-Kejahatan Terorisme yang
mengesampingkan UU Hukum Acara Pidana biasa.
 Selain itu reformasi sektor keamanan juga masih menyisakan sejumlah persoalan.
Satu-satunya institusi keamanan yang sudah mereformasi adalah institusi kepolisian.
Reformasi militer belum sepenuhnya berhasil diwujudkan. Yang lebih parah adalah lembaga
intelijen sama sekali belum tersentuh proses reformasi. Upaya penyusunan UU Intelijen
dibaca oleh sejumlah kalangan sebagai bagian dari campur tangan asing untuk memperlemah
negara kesatuan Republik Indonesia.
 Bagaimana sesungguhnya hak atas informasi dilihat dari sisi hak asasi manusia?
0 Komentar untuk "Persoalan HAM di Indonesia"

Back To Top