Peristiwa Kontak Bahasa



Peristiwa Kontak Bahasa 

Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa antara lain: kedwibahasaan, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, dan pergeseran bahasa. 

1) Kedwibahasaan 

Kedwibahasaan (bilingualisme) diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Orang yang dapat menggunakan dua bahasa itu disebut dwibahasawan (bilingual); sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut kedwibahasawanan (bilingualisme). 

Oksaar (1972:478) berpendapat bahwa tidak cukup membatasi kedwibahasaan hanya sebagai milik individu. Kedwibahasaan harus diperlakukan juga sebagai milik kelompok sebab bahasa tidak terbatas sebagai alat penghubung antarindividu, tetapi juga alat komunikasi antarkelompok. Bahkan bahasa sebagai alat untuk menegakkan kelompok dan alat untuk menunjukkan identitas kelompok. 

Ciri utama kedwibahasaan menurut Wolff (1974:5) adalah dipergunakannya dua bahasa atau lebih oleh seorang atau sekelompok orang, tetapi kedua bahasa itu tidak mempunyai peranan sendiri-sendiri di dalam masyarakat pemakai bahasa. Kepada siapapun mereka berbicara, di mana pun pembicaraan itu berlangsung, tentang masalah apa pun yang dibicarakan, dan dalam situasi bagaimana pun terjadi pembicaraan itu; kedua bahasa itu dapat dipergunakan. Pemilihan bahasa yang akan dipergunakan bergantung kepada kemampuan pembicara dan pendengarnya. Sebagai contoh keadaan demikian adalah yang terjadi di Montreal (Kanada). Di sana bahasa Inggris dan bahasa Perancis dipergunakan secara berdampingan dan sejajar karena hampir seluruh anggota masyarakat di daerah itu mengenal keduanya secara baik. Hal itu dimungkinkan karena peristiwa sejarah yang menjadikan daerah itu diduduki secara bersama oleh para imigran yang berasal dari Inggris dan Perancis. 

2) Diglosia 

Diglosia adalah keadaan dua bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang sama, tetapi masing-masing bahasa mempunyai fungsi atau peranannya sendiri-sendiri dalam konteks sosialnya. Seperti halnya kedwibahasaan, pengertian diglosia ini pun mengalami perkembangan. Hal ini tampak dari pernyataan Fishman (1975:73) yang mengemukakan bahwa diglosia dipergunakan untuk menyebut suatu masyarakat yang mengenal dua bahasa (lebih) untuk berkomunikasi di antara anggotanya. 

Karena baik kedwibahasaan maupun diglosia pada hakikatnya adalah peristiwa yang menyangkut pemakaian dua bahasa yang dipergunakan oleh seseorang atau sekelompok orang di dalam suatu masyarakat, maka antara keduanya tampak adanya hubungan timbal-balik yang mewarnai sifat masyarakat tuturnya. Dalam hubungan ini, Fishman (1975:7-88) menyebut empat jenis masyarakat tutur yang menunjukkan adanya hubungan seperti itu, yakni: 

(a) masyarakat tutur yang diglosik dan dwibahasawan ialah masyarakat tutur yang secara keseluruhan menggunakan dua bahasa sebagai alat komunikasinya, tetapi di dalam masyarakat tersebut kedua bahasa itu dipergunakan dengan fungsinya masing-masing. Contoh: di Paraguay dipergunakan dua bahasa, yaitu bahasa Guarani (bahasa penduduk asli, digunakan oleh para pekerja kasar) dan bahasa Spanyol (bahasa peninggalan penjajahan; digunakan dalam lingkungan pendidikan, keagamaan, pemerintahan, perekonomian, teknologi, dan hal-hal lain yang bersifat resmi). Kedua bahasa itu dikenal baik oleh separoh penduduk negara itu dan dipergunakan sebagai alat komunikasi. 

(b) masyarakat tutur yang diglosik tetapi takdwibahasawan ditandai dengan adanya dua (lebih) masyarakat yang secara politis, ekonomis, dan atau religius dipersatukan ke dalam suatu kesatuan yang fungsional, meskipun perbedaan sosio-kultural tetap memisahkannya. Contoh: di Eropa sebelum Perang Dunia I terdapat dua masyarakat tutur, yaitu masyarakat orang elite Eropa yang biasa menggunakan bahasa “tinggi” dan masyarakat kebanyakan menggunakan bahasa yang lain. Dua masyarakat tersebut tidak pernah berinteraksi dan mereka tidak pernah membentuk satu masyarakat tutur. 

(c) masyarakat tutur yang dwibahasawan tetapi takdiglosik terdapat di dalam masyarakat yang menggunakan dua bahasa sebagai alat komunikasinya, sedangkan kedua bahasa itu tidak menunjukkan fungsi-fungsi tertentu dalam penggunaannya. Ini berarti, keduanya dapat dipakai untuk keperluan apa pun, di mana pun, kepada siapa pun, dan dalam situasi bagaimana pun. Sebagai contoh adalah masyarakat tutur di Montreal (Kanada). 

(d) masyarakat tutur yang takdwibahasawan dan takdiglosik; masyarakat yang seperti ini hanya sedikit, agak langka, dan tidak begitu jelas. 

3. Alih Kode 

Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Di dalam suatu kode terdapat berbagai kemungkinan varian (varian resional, varian kelas sosial, ragam, gaya ataupun register); maka peristiwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya, atau alih register. Sebagai contoh peristiwa alih kode dapat diperhatikan dialog antara pembeli dan penjual yang berlatar belakang budaya Jawa berikut ini. 

Pembeli : Daster, to iki? 

“Ini daster ya?” 

Penjual : Ya daster, ya rok. 

“Ya daster, ya rok”. 

Pembeli : Pinten niki? 

“Berapa ini?” 

Penjual : Niku sekawan dasa ewu. 

“Itu empat puluh ribu”. 

Pembeli : Kalau yang ini berapa Bu? 

Penjual : Itu lima puluh ribu. 

Dua kalimat terakhir dari dialog di atas, yaitu Kalau yang ini berapa Bu? dan Itu lima puluh ribu merupakan contoh alih kode. Sebelumnya, antara pembeli dan penjual menggunakan bahasa Jawa, kemudian si pembeli beralih kode ke bahasa Indonesia dan penjual pun mengimbanginya. 



Soewito (1983:69) membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu: 

(a) alih kode intern yaitu alih kode yang terjadi antarbahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional, antardialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antarbeberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek dan 

(b) alih kode ekstern yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa asli dengan bahasa asing. 

Dalam praktiknya mungkin saja dalam suatu peristiwa tutur terjadi alih kode intern dan alih kode ekstern secara beruntun, apabila fungsi kontekstual dan situasi relevansialnya dinilai oleh penutur cocok untuk melakukan. 

Alih kode merupakan peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh faktor-faktor luar bahasa, terutama faktor-faktor yang sifatnya sosio-situasional. Beberapa faktor yang merupakan penyebab terjadinya alih kode antara lain: 

(a) Pembicara atau penutur (O1) 

Seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu maksud. 

(b) Pendengar atau mitra tutur (O2) 

Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang dipergunakan oleh mitra tuturnya. 

(c) Hadirnya orang ketiga (O3) 

Dua orang yang berasal dari kelompok etnik yang sama pada umumnya saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. Tetapi jika kemudian hadir orang ketiga dalam pembicaraan itu dan orang itu berbeda latar kebahasaannya, biasanya dua orang tadi beralih kode ke bahasa yang dikuasai oleh ketiganya. 

(d) Pokok pembicaraan 

Pokok pembicaraan merupakan faktor yang termasuk dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. 

(e) Untuk membangkitkan rasa humor 

Alih kode untuk membangkitkan rasa humor ini bisa dicontohkan: pada kegiatan belajar yang mulai lesu, guru menyegarkan suasana dengan memunculkan humor; pada saat rapat, untuk mengurangi ketegangan yang mulai timbul pimpinan rapat menghadirkan humor; dan lain sebagainya. 

(f) Untuk sekadar gengsi. 

Seorang penutur kadang beralih kode hanya untuk sekadar gengsi. Padahal baik faktor sosio-situasional sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk beralih kode. 

4) Campur Kode 

Thelander (1976:103) menyatakan apabila dalam suatu tuturan terjadi percampuran atau kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda di dalam satu klausa yang sama, maka peristiwa itu disebut campur kode. Seperti halnya alih kode, campur kode juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) campur kode intern dan b) campur kode ekstern. 

Latar belakang terjadinya campur kode pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe, yaitu: a) tipe yang berlatar belakang pada sikap dan b) tipe yang berlatar belakang kebahasaan. Atas dasar latar belakang sikap dan kebahasaan yang saling bergantung dan bertumpang tindih seperti itu dapat diidentifikasi beberapa alasan atau penyebab terjadinya campur kode, yaitu: 

(a) identifikasi peranan, 

(b) identifikasi ragam, dan 

(c) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. 

Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain: 

(a) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata 

Contoh: Mangka seringkali sok ada kata-kata seolah-olah bahasa daerah itu kurang penting. 

(b) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa 

Contoh: Karena saya sudah kadhung apik dengan dia, ya tak teken saja. 

(c) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster 

Contoh: Hendaknya segera diadakan hutanisasi kembali. 

(d) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata 

Contoh: Sejak tadi hanya tonya-tanya saja kerjamu! 

(e) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom 

Contoh: Hindari cara kerja alon-alon waton kelakon. 

(f) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa 

Contoh: Pemimpin yang bijaksana selalu bertindak ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. 

5) Interferensi 

Interferensi dianggap sebagai gejala tutur, hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan itu sebenarnya sudah ada padanannya (persamaannya) dalam bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap, diharapkan makin berkurang atau sampai batas paling minim. 

Dalam proses interferensi terdapat tiga unsur mengambil peranan, yaitu: (a) bahasa sumber (bahasa donor), (b) bahasa penyerap (resipien), dan (c) unsur serapan (importasi). Dalam peristiwa kontak bahasa mungkin sekali pada suatu peristiwa suatu bahasa merupakan bahasa donor, sedangkan pada peristiwa lain bahasa tersebut merupakan bahasa penyerap. Saling serap merupakan peristiwa umum dalam kontak bahasa. Interferensi dapat terjadi dalam semua tataran kebahasaan, yaitu: 

(a) fonologi, contoh: mBandung, nJepara, nDeli, dan sebagainya 

(b) morfologi, contoh: kemahalan, sungguhan, ketabrak, dan sebagainya. 

(c) sintaksis, contoh: Rumahnya ayahnya Vian bagus sendiri di kampung ini merupakan terjemahan kalimat bahasa Jawa Omahe bapake Vian apik dhewe neng kampung iki. 

(d) semantik, contoh: sarat yang berarti ‘penuh’ sering dipertukarkan dengan syarat yang berarti ‘ketentuan’. 

6) Integrasi 

Integrasi terjadi apabila unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan sistem bahasa penyerapnya, sehingga pemakaiannya telah menjadi umum karena tidak lagi terasa keasingannya. Contoh: istilah yang berasal dari bahasa Belanda seperti: voorloper, zuursak, dan chauffeur berturut-turut dalam bahasa Indonesia menjadi pelopor, sirsak, dan sopir. 

Haugen (1972:477) menafsirkan integrasi sebagai kebiasaan memakai materi dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Kebiasaan yang telah menjadi umum seperti itu terjadi karena unsur tersebut telah terserap dalam waktu yang cukup lama atau belum lama waktu terserapnya tetapi sangat diperlukan karena belum ada padanannya dalam bahasa yang bersangkutan. Proses penyesuaiannya biasanya tidak terjadi sekaligus. Sebelum unsur serapan itu benar-benar berintegrasi dalam bahasa penyerapnya, biasanya terjadi beberapa bentuk ganda sebagai akibat perbedaan tuturan perseorangan baik secara fonemik maupun secara morfemik. 

Penyerapan unsur asing dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia bukan hanya melalui penyerapan kata asing itu yang disertai dengan penyesuaian lafal dan ejaan, tetapi banyak pula dilakukan dengan cara: 

(a) Penerjemahan langsung yaitu kosakata itu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Contoh: airport menjadi bandar udara, paardekracht menjadi tenaga kuda, dan lain sebagainya. 

(b) Penerjemahan konsep yaitu kosakata asing itu diteliti baik-baik konsepnya lalu dicarikan kosakata bahasa Indonesia yang konsepnya dekat dengan kosakata asing tersebut. Contoh: begroting post menjadi mata anggaran, network menjadi jaringan, dan lain sebagainya. 

7) Pergeseran Bahasa 

Pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Pendatang atau kelompok pendatang ini untuk keperluan komunikasi mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan menanggalkan bahasanya sendiri, kemudian menggunakan bahasa masyarakat tutur setempat. Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, atau daerah, atau wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran atau transmigran untuk mendatanginya.
0 Komentar untuk "Peristiwa Kontak Bahasa"

Back To Top