Toleransi Pembatasan Hak Asasi Manusia
Konstitusi Indonesia menyatakan diperbolehkannya pembatasan terhadap hak-hak
yang tercantum dalam Konstitusi. Namun demikian, Undang-Undang Dasar 1945 mengatur
ketentuan tentang hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun (non-derogable
rights). Antara lain dengan mencantumkan kata-kata berikut, “Hak untuk hidup, hak untuk
6
Pasal dalam UU No 24 Tahun 1992 ini kemudian lebih dicantumkan secara rinci dalam Pasal 2 ayat b PP No
69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran serta Masyarakat
dalam Penataan Ruang yang berfbunyi, “Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat berhak mengetahui secara
terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang kawasan, rencana rinci tata ruang kawasan”. Juga dalam
Pasal (3) yang mencantumkan, “Dalam rangka memenuhi hak masyarakat, menyebarluaskan rencana tata ruang
yang telah ditetapkan pada tempat-tempat yang memungkinkan masyarakat mengetahui dengan mudah”. 8
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun.”7
Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 mengatur mengenai hak yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun (non-derogable rights) yaitu hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut.
Dalam kondisi tertentu, hak-hak asasi manusia yang tidak termasuk non-derogable
rights dapat dilakukan pembatasan dan pengurangan. UUD 45 Perubahan ke Dua Pasal 28 J
menyatakan:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM mengatur pembatasan mengenai kebebasan dan
HAM. Di dalam Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999 disebutkan kebebasan dan HAM hanya
bisa diatur oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban
umum, dan kepentingan bangsa. Pasal 74 UU No. 39 Tahun 1999 kemudian menegaskan
“tidak satu ketentuan dalam Undang-Undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai,
golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak
asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini”. Dengan
demikian, pembatasan yang dilakukan pemerintah harus tetap menjamin, bahkan
memperkuat, perlindungan HAM. Selanjutnya, pembatasan terhadap HAM yang tercantum
dalam UU No. 39/1999 harus dilakukan melalui undang-undang.
Ketentuan umum tidak boleh adanya pengurangan hak, kecuali atas kondisi tertentu,
tercantum dalam Pasal 5 Bersama Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik serta Kovenan
Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal tersebut menyatakan:
a. Tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai
memberikan secara langsung kepada suatu Negara, kelompok atau perseorangan
hak untuk melakukan kegiatan atau tindak apa pun yang bertujuan untuk
menghancurkan hak atau kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk
membatasi hak dan kebebasan itu lebih besar daripada yang ditentukan dalam
Kovenan ini.
b. Tidak satupun pembatasan atau pengurangan atas hak-hak asasi manusia yang
mendasar yang diakui atau berada di negara manapun berdasarkan kekuatan
hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, akan dapat diterima, dengan alasan
bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak-hak tersebut, atau mengakuinya namun
tidak sepenuhnya.
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya penyalahgunaan baik oleh
negara atau penduduknya atas hak-hak apa pun yang ada dalam Kovenan. Pasal 5 (1) ini juga
untuk menguatkan bahwa Kovenan tersebut haruslah didudukkan pada maksudnya serta
7
Amendemen ke dua, UUD 1945, Pasal 28I Ayat (1). 9
untuk melindungi terhadap penafsiran yang salah terhadap ketentuan mana pun dari Kovenan
yang digunakan untuk membenarkan adanya pengurangan hak mana pun yang diakui dalam
Kovenan atau pembatasan hak mana pun pada tingkat yang lebih jauh dari pada yang
ditentukan oleh Kovenan.8
Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebutkan
bahwa dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasanbatasan yang ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi persyaratanpersyaratan moral, ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat
yang demokratis.
Kedua Kovenan memuat ketentuan yang mengatur adanya pembatasan terhadap hakhak tertentu. Beberapa klausul pembatasan yang digunakan dalam kedua kovenan adalah:
diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law), dalam masyarakat
yang demokratis (in a democratic society), ketertiban umum (public order/(ordre public),
kesehatan publik (public health), moral publik (public moral), keamanan nasional (national
security) dan keamanan publik (public safety), hak dan kebebasan orang lain (rights and
freedom of others) dan hak atau reputasi orang lain (rights and reputations of others), serta
kepentingan kehidupan pribadi pihak lain ( the interest of private lives of parties) yang
berkaitan dengan pembatasan terhadap pers dan publik pada pengadilan (restrictions on
public trial).9
Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur di dalam Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) diterjemahkan secara lebih detil di dalam
Prinsip-Prinsip Siracusa (Siracusa Principles). Di dalam Prinsip ini disebutkan bahwa
pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan harus
ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus
ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip ini
menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang.10
Pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia hanya bisa dilakukan jika memenuhi
kondisi-kondisi berikut:
a. Diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law). Tidak ada
pembatasan yg bisa diberlakukan kecuali didasarkan oleh hukum nasional. Namun
hukum yang membatasi hak tersebut tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa
alasan. Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan HAM harus jelas dan bisa
diakses siapa pun. Selain itu negara harus menyediakan upaya perlindungan dan
pemulihan yang memadai terhadap penetapan atau pun penerapan pembatasan
yang bersifat sewenang-wenang terhadap hak-hak tersebut.11 Hukum tersebut harus
dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang
8
Lockwood B.B., Jr, Finn, J., dan Jubinsky G., “Working Paper for the Committee of Experts on Limitation
Provisions”, dalam Human Rights Quarterly, Volume 7, hal. 36-37.
9
Ibid, 44-88.
10 The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil
and Political Rights, E/CN.4/1985/4. Siracusa Principles adalah prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan
dan pengurangan hak yang diatur di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Prinsip-prinsip
ini dihasilkan oleh sekelompok ahli hukum internasional yang bertemu di Siracusa, Italia pada April dan Mei
1984.
11 Ibid, paragraf 15—18. 10
memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan
dengan hukum atau tidak.12
b. Diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society). Beban
untuk menetapkan persyaratan pembatasan ini ada pada negara yang menetapkan
aturan pembatasan dengan menunjukkan bahwa pembatasan tersebut tidak
mengganggu berfungsinya demokrasi di dalam masyarakat. Adapun model
masyarakat yang demokratis dapat mengacu pada masyarakat yang mengakui dan
menghormati hak asasi manusia yang tercantum dalam Piagam PBB dan
DUHAM.13
c. Untuk melindungi ketertiban umum (public order/ordre public). Frasa “ketertiban
umum” di sini diterjemahkan sebagai sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya
masyarakat atau seperangkat prinsip mendasar yang hidup di masyarakat.
Ketertiban umum juga melingkupi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Selain itu, ketertiban umum di sini harus dilihat dalam konteks hak yang
dibatasinya. Negara atau badan negara yang bertanggungjawab untuk menjaga
ketertiban umum harus dapat dikontrol dalam pengggunaan kekuasaan mereka
melalui parlemen, pengadilan atau badan mandiri lain yang kompeten.14
d. Untuk melindungi kesehatan publik (public health). Klausul ini digunakan untuk
mengambil langkah-langkah penanganan atas sebuah ancaman yang bersifat serius
terhadap kesehatan masyarakat atau pun anggota masyarakat. Namun langkah
pembatasan ini harus diletakkan dalam konteks pencegahan penyakit atau
kecelakaan atau dalam rangka menyediakan layanan kesehatan bagi yang terluka
atau sakit. Dalam hal ini negara harus mengacu pada aturan kesehatan internasional
dari WHO.15
e. Untuk melindungi moral publik (public moral). Negara harus menunjukkan bahwa
pembatasan itu memang sangat penting bagi terpeliharanya nilai-nilai mendasar
komunitas. Dalam hal ini negara memiliki diskresi untuk menggunakan alasan
moral masyarakat. Namun klausul ini tidak boleh menyimpang dari maksud dan
tujuan KIHSP.
f. Untuk melindungi keamanan nasional (national security). Klausul ini digunakan
hanya untuk melindungi eksistensi bangsa, integritas wilayah atau kemerdekaan
politik terhadap adanya kekerasan atau ancaman kekerasan. Negara tidak boleh
menggunakan klausul ini sebagai dalih untuk melakukan pembatasan yang
sewenang-wenang dan tidak jelas.16 Pembatasan dengan klausul ini juga tidak sah,
jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk
melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan
nasional. Termasuk misalnya untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu
12 The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information,
Freedom of Expression and Access to Information, E/CN.4/1996/39 (1996). Johannesburg Principles adalah
prinsip-prinsip yang diadopsi pada 1 Oktober 1995 oleh sekelompok ahli hukum internasional, keamanan
nasional, dan hak asasi manusia yang berkumpul bersama berdasarkan PASAL 19, International Centre Against
Censorship, bekerja sama dengan Centre for Applied Legal Studies Universitas Witwatersrand, di Johannesburg,
Principle 1.1.
13 Siracusa Principles, op.cit. (cat. 14), paragraf 20—21.
14 Ibid, paragraf 22—24.
15 Ibid, paragraf 25—26.
16 Ibid, paragraf 29—31. 11
akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan,
atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi
publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan
kerusuhan industrial.17
g. Untuk melindungi keselamatan publik (public safety). Klausul ini digunakan untuk
melindungi orang dari bahaya dan melindungi kehidupan mereka, integritas fisik
atau kerusakan serius atas milik mereka. Klausul ini tidak bisa digunakan untuk
pembatasan yang sewenang-wenang dan hanya bisa diterapkan jika ada
perlindungan yang cukup dan pemulihan yg efektif terhadap penyalahgunaan
pembatasan.18
h. Untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others).
Ketika terjadi konflik antar-hak, maka harus diutamakan hak dan kebebasan yang
paling mendasar. Klausul ini tidak bisa digunakan untuk melindungi negara dan
aparatnya dari kritik dan opini publik.
Selain itu, KIHSP juga memasukkan istilah “perlu” (necessary) dalam ketentuanketentuan yang mengandung pembatasan, yaitu pada Pasal 12 (3), 14 (1), 18 (3), 19 (3), 21,
22 (2). Hal ini memperlihatkan adanya maksud dari perancang Kovenan untuk membatasi
penerapan pembatasan hak-hak hanya pada situasi dimana ada kebutuhan riil untuk
pembatasan tersebut. Untuk menyatakan bahwa kebutuhan itu memang ada, beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi adalah: a). Pembatasan sejalan dengan semangat dan apa
yang tertulis dalam Kovenan; b). Syarat-syarat yang ditetapkan dalam beberapa putusan
Pengadilan HAM Eropa yaitu persyaratan lawfulness, legitimate aim dan necessity.19 Untuk
menetapkan apakah necessity terpenuhi, Pengadilan Eropa biasanya menerapkan dua tes yaitu
‘perlu dalam masyarakat demokratis/necessary in a democratic society’ dan proporsional
pada kebutuhan yang diinginkan (proportional to the desired need).20
Hal ini juga dijelaskan oleh Prinsip Siracusa yang menyatakan istilah ‘nesecessary’
mengimplikasikan bahwa pembatasan: 21
a). Didasarkan pada salah satu alasan yang membenarkan pembatasan yang diakui
oleh pasal yang relevan dalam Kovenan.
b). Menanggapi tekanan publik atau kebutuhan sosial.
c). Untuk mencapai sebuah tujuan yang sah.
d). Proporsional pada tujuan tersebut di atas.
Prinsip Siracusa juga menyatakan bahwa penilaian pada perlunya pembatasan harus
dibuat berdasar pertimbangan-pertimbangan obyektif.
Secara tegas hal itu juga dinyatakan oleh Komentar Umum Kovenan Hak Sipil dan
Politil yang menyatakan bahwa:
Negara-negara pihak harus menahan diri dari melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang
diakui dalam Kovenan, dan pembatasan apa pun terhadap salah satu atau lebih dari hak-hak tersebut
harus memiliki alasan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan. Ketika pembatasan
Tag :
Hak Asasi Manusia
0 Komentar untuk "Toleransi Pembatasan Hak Asasi Manusia"