PENDAHULUAN
Interaksi pembelajaran bahasa Indonesia menciptakan suatu tindak turur antara siswa dengan guru atau sebaliknya. Tindak tutur tersebut perlu dicermati agar tujuan dan ketercapaian pembelajaran dapat diukur atau dilaksanakan dengan baik. Interaksi yang baik ketika tindak tutur antara penutur dan petutur dapat saling memahami, namun pada kenyataannya interaksi tersebut masih didominasi oleh guru bahkan belum bisa dipahami dengan baik oleh mitra tuturnya. Guru lebih dominan yang berbicara dalam pembelajaran, sedangkan siswa jarang diberikesempatan untuk mengemukakan pendapatnya apalagi bisa berinteraksi dengan baik. Kondisi demikian akan berpengaruh terhadap tindak tutur yang mereka lakukan serta akan tercermin dalam kemampuan memahami bahasa lisan. Selaian itu, dalam setiap tindak tutur yang mereka lakukan sangat tergantung dengan situasi lisan saat itu serta yang tidak kalah pentingnya berdasarkan kompetensi dasar yang telah guru rancang dalam setiap pembelajaran.
Guru merupakan cermin bagi siswa dalam berbahasa. Baik buruknya suatu ujaran guru disadari atau tidak akan menjadikan pembelajaran bagi anak. Hal tersebut sangat terlihat ketika guru mengajukan pertanyaan kepada anak atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu. Ujaran yang demikian akan menciptakan reaksi yang beragam bagi anak, seperti anak akan malas belajar, tidak berani bertanya, tidak mau melakukan perintah gurunya, bahkan setiap pembelajaran anak tidak mau masuk kelas. Atau sebaliknya anak akan lebih bergairah, semangat, aktif, kreatif, bahkan berprestasi. Hal tersebut merupakan salah satu reaksi dari tuturan yang dilakukan oleh guru apalagi dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Pembelajaran bahasa yang kurang menyenangkan bagi kalangan siswa saat ini salah satu permasalahannya, yaitu kemasan bahasa yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia kurang menarik. Misalnya kehalusan bahasa yang digunakan, kesantunan dalam bertutur sapa, sikap dan keramahtamahan guru, serta wawasan kebahasaan dan sastra guru dalam penerapannya masih belum terkuasai dengan baik. Padahal bahasa sebagai cermin bangsa. Kalau gurunya sebagai pemakai bahasa sekaligus pengembang dan pembina bahasa Indonesia kurang baik maka secara otomatis akan sulit menerapkan pemakaian bahasa Indonesia dengan baik pula.
Bahasa bukan saja merupakan property yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antarpersona komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, maka tidak pernah bersifat absolute; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu, tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaaannya selalu dibayangi oleh budaya (Yasin, 2002). Oleh karena itu, analsis wacana merupakan upaya mengkaji rekaman kebahasaan secara utuh dalam peristiwa komunikasi sehingga mampu mengungkapkan kajian wacana tulis dan wacana lisan.
Brown dan Yule (1996: 1-4) membedakan wacana berdasarkan dua kriteria. Pertama adalah berdasarkan fungsi bahasa. Berdasarkan fungsi itu wacana dibedakan menjadi dua kategori, yakni wacana transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional adalah wacana yang digunakan untuk mengekspresikan isi atau informasi yang ditujukan kepada pendengar, sedangkan wacana interaksional digunakan untuk menciptakan hubungan sosial dan hubungan personal, seperti wacana yang terdapat dalam dialog dan polilog. Dalam hal ini initeraksi dalam pembelajaran de kelas antara siswa dan guru, guru dengan siswa atau anatara siswa dengan siswa. Hal ini sesuai dengan namanya, wacana interaksional lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat interaksi.
Pada dasarnya analisis wacana ingin menganalisis atau menginterpretasikan pesan dimaksud pembicara atau penulis dengan cara merekonstruksi teks sebagai produk ujaran atau tulisan sehingga diketahui segala konteks yang mendukung wacana pada saat wacana itu dalam proses dihasilkan melingkupi pembicara atau penulis akan dihadirkan kembali (direkonstruksi) dan dijadikan alat untuk menginterpretasi. Hal tersebut dapat menggunakan prinsip lokalitas dan analogi.
Jika penganalisis melakukan analisis terhadap wacana lisan atau tulisan, analisis itu dapat dilakukan pada tingkat tataran, yaitu (1) tataran struktural gramatikal kalimat, (2) tataran makna, dan (3) tataran organisasi ujaran. Ketiga tataran ini menuntun penganalisis untuk bisa membedakan pola gramatikal, pola kalimat semantis, dan pola kalimat komunikatif. Praanggapan dan implikatur dalam wacana dialog seperti yang akan dibahas dalam tulisan ini bisa dikatakan sebagai konstruksi pada kalimat komunikatif, yang bisa diorientasikan pada istilah pragmatic function termasuk analisis fungsi pragmatik. Van Dijk (dalam Suparno, 1991: 19) manyatakan bahwa informasi pragmatis terdiri atas tiga komponen, yaitu (1) informasi lama yang berhubungan dengan dunia, yang juga informasi umum (general information), (2) informasi situasional (situational information), yaitu infomasi diturunkan dari pemahaman atau pengalaman partisipan dalam situasi tempat terjadinya interaksi, dan (3) informasi kontekstual (contextual information) yaitu informasi yang diturunkan dari ekspresi yang telah diarahkan peristiwa komunikasi.
Sebagai wacana lisan interaksional dalam pembelajaran di kelas dianalisis merupakan bahan yang menarik bagi penganalisis wacana. Hal ini terjadi karena di samping memuat hubungan antara pernyataan, juga dialog sangat kaya dengan unsur-unsur paralinguistik yang akan membantu pendengar atau penganalisis dalam menginterpretasi, memberi makna, dan menemukan hubungan antarpernyataan tersebut.
Analisis wacana menganalisis penggunaan bahasa dalam konteks pembicara atau penulis. Dengan demikian analisis wacana akan mendeskripsikan apa yang dimaksudkan oleh pembicara dan pendengar melalui wacana tersebut. Dalam kaitan dengan ini yang perlu diperhatikan adalah referensi (reference) dan infrensi (inference), praanggapan (presuppotion) dan implikatur (implicature), konteks situasi (the contex of situation) dan ko-teks (co-text), tematisasi dan penahapan, konstruksi tema-rema, pronomina serta interpretasi lokal (local interpretation).
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, dalam kajian analisis wacana secara langsung ataupun tidak semua aspek tersebut akan mempengaruhi dan saling keterkaitan. Oleh karena itu, untuk melihat keterkaitan tindak tutur antara guru dengan siswa atau sebaliknya maka dalam kesempatan ini penulis hanya memfokuskan pada kajian praanggapan dan implikatur dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada kompetensi pembelajaran sastra, baik puisi maupun prosa dalam bentuk transkripsi. Tuturan yang telah transkripsi itulah penulis menganalisis tuturan tersebut berdasarkan praanggapan dan implikatur guru dengan siswa atau sebaliknya dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Sesuai dengan pemikiran di atas, maka tulisan bertujuan untuk mendeskripsikan keterakitan antara praanggapan guru dengan implikatur siswa dan menemukan hubungan antara pernyataan-pernyataan guru dan siswa pada pembelajaran bahasa Indonesia khususnya pembelajaran prosa dan puisi. Kemudian dilanjutkan dengan menginterpretasi, merekontruksi, dan memberi makna pada wacana tersebut.
Analisis wacana adalah kajian tentang penggunaan oleh komunitas bahasa yang melibatkan baik kajian tentang bentuk maupun fungsi bahasa (Yasin, 2002). Analisis wacana berkaitan juga dengan masyarakat dan masalah komunikasi setiap hari yang bersifat interaktif atau dialogis (M. Stubbs, 1983; dalam Yasin, 2002). Selanjutnya ia membagi wacana secara garis besar yaitu ada wacana lisan dan ada wacana tulis. Wacara lisan berbentuk komunikasi verbal antarpersona, sedangkan wacana tulis menampilkan dalam bentuk teks. Wacana harus dibedakan dari teks. Wacana menekankan pada proses, sedangkan teks pada produk kebahasaan. Sebuah unit percakapan dapat dilihat dari teks apabila menganalisis melihat hubungan kebahasaan antartuturan. Sebaliknya, percakapan dilihat dari wacana apabila dikaji adalah proses komunikasi sehingga menghasilkan interpretasi. Adapun wacana lisan tersebut yang akan dibahas di sini adalah dalam bentuk dialog Liputan Enam Petang SCTV sebagai suatu ucapan, percakapan, dan kuliah yang berbentuk ujaran lisan dalam proses komunikasi.
Praanggapan adalah praanggapan pragmatis, yaitu yang ditentukan batas-batasnya berdasarkan anggapan berbicara mengenai apa yang kemungkinan akan diterima oleh pendengar tanpa tantangan (Givon, 1979; dalm Brown dan Yule, 1996: 28-29). Senada dengan itu praanggapan apa yang dikemukakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan (Stalnaker, 1978; dalam Brown dan Yule, 1996: 29). Dalam hal ini praanggapan kedua belah pihak, baik itu dari guru ataupun siswa atau sebaliknya memiliki dasar pemahaman yang sama sehingga komunikasi dapat berlangsung sehingga diperlukan juga implikatur di dalam suatu percakapan/dialog penutur dengan petutur. Dalam artian bahwa praanggapan adalah sebagai suatu hal yang dianggap penutur sebagai dasar berpijak untuk menuturkan suatu kalimat dalam ujaran.
Hubungan antara pernyataan dalam analisis wacana menggunakan dua konsep dasar, yaitu kewajaran (apropresteness atau felicity) dan pengetahuan bersama (mutal knowledge atau commen ground atau join assumtion) (Lawrensen, 1983 dalam Lubis, 1991: 61). Oleh sebab itu, tuturan guru hendaklah dapat diketahui oleh siswa supaya siswa dapat memahami tuturan guru.
Istilah “implikatur” dipakai oleh Grice (1975) untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disamakan atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur (Brown dan Yule, 1996: 31). Artinya implikatur adalah informasi implisit yang dapat ditentukan berdasarkan suatu tuturan. Dalam implikatur hanya sebagian arti literal yang turut mendukung artinya sebenarnya dari sebuah kalimat, selebihnya berasal dari fakta-fakta di sekeliling kita dalam hal ini analogi lokal sangat berperan penting, situasi, dan kondisinya.
Secara garis besar implikatur dikelompokan menjadi dua hal yaitu implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Implikatur konvensional, diartikan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai. Sedangkan implikatur percakapan yang dituturkan dari asas umum percakapan ditambah sejumlah petuah yang biasanya dipatuhi oleh penutur. Asas umum ini disebut Asas Kerja Sama (cooperative principle) baik itu konteks kuanatitas (kerja sama dalam bentuk jawaban yang belum pasti), kualitas (kerja sama dalam bentuk sesuai), hubungan atau relasi (kerja sama dalam bentuk jawaban yang belum sesungguhnya, bergantung pada interpretasi penanya), maupun cara (kerja sama dalam bentuk yang tidak langsung menjawab pertanyaan karena kebiasaan) (Brown dan Yule, 1996: 30). Dalam banyak hal, implikatur itu harus tidak dinyatakan karena sudah menjadi pengetahuan umum.
Menurut Levenson (dalam Lubis, 1991: 70) ada empat macam faedah konsep implikatur itu, yaitu (1) dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tak terjangkau oleh teori linguistik, (2) dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah yang dari yang dimaksud si pamakai bahasa, (3) dapat memberikan pemerian sementik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama, dan (4) dapat memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora). Hal tersebut telah dibuktikan juga oleh H.P. Grice tahun 1967 yang menyatakan bahwa implikatur percakapan untuk menanggulangi persoalan makna bahasa yang tak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Jadi konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara apa yang diucapkan dengan apa yang diimplikasikan (Nababan, 1989: 28).
Interaksi pembelajaran bahasa Indonesia menciptakan suatu tindak turur antara siswa dengan guru atau sebaliknya. Tindak tutur tersebut perlu dicermati agar tujuan dan ketercapaian pembelajaran dapat diukur atau dilaksanakan dengan baik. Interaksi yang baik ketika tindak tutur antara penutur dan petutur dapat saling memahami, namun pada kenyataannya interaksi tersebut masih didominasi oleh guru bahkan belum bisa dipahami dengan baik oleh mitra tuturnya. Guru lebih dominan yang berbicara dalam pembelajaran, sedangkan siswa jarang diberikesempatan untuk mengemukakan pendapatnya apalagi bisa berinteraksi dengan baik. Kondisi demikian akan berpengaruh terhadap tindak tutur yang mereka lakukan serta akan tercermin dalam kemampuan memahami bahasa lisan. Selaian itu, dalam setiap tindak tutur yang mereka lakukan sangat tergantung dengan situasi lisan saat itu serta yang tidak kalah pentingnya berdasarkan kompetensi dasar yang telah guru rancang dalam setiap pembelajaran.
Guru merupakan cermin bagi siswa dalam berbahasa. Baik buruknya suatu ujaran guru disadari atau tidak akan menjadikan pembelajaran bagi anak. Hal tersebut sangat terlihat ketika guru mengajukan pertanyaan kepada anak atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu. Ujaran yang demikian akan menciptakan reaksi yang beragam bagi anak, seperti anak akan malas belajar, tidak berani bertanya, tidak mau melakukan perintah gurunya, bahkan setiap pembelajaran anak tidak mau masuk kelas. Atau sebaliknya anak akan lebih bergairah, semangat, aktif, kreatif, bahkan berprestasi. Hal tersebut merupakan salah satu reaksi dari tuturan yang dilakukan oleh guru apalagi dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Pembelajaran bahasa yang kurang menyenangkan bagi kalangan siswa saat ini salah satu permasalahannya, yaitu kemasan bahasa yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia kurang menarik. Misalnya kehalusan bahasa yang digunakan, kesantunan dalam bertutur sapa, sikap dan keramahtamahan guru, serta wawasan kebahasaan dan sastra guru dalam penerapannya masih belum terkuasai dengan baik. Padahal bahasa sebagai cermin bangsa. Kalau gurunya sebagai pemakai bahasa sekaligus pengembang dan pembina bahasa Indonesia kurang baik maka secara otomatis akan sulit menerapkan pemakaian bahasa Indonesia dengan baik pula.
Bahasa bukan saja merupakan property yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antarpersona komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, maka tidak pernah bersifat absolute; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu, tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaaannya selalu dibayangi oleh budaya (Yasin, 2002). Oleh karena itu, analsis wacana merupakan upaya mengkaji rekaman kebahasaan secara utuh dalam peristiwa komunikasi sehingga mampu mengungkapkan kajian wacana tulis dan wacana lisan.
Brown dan Yule (1996: 1-4) membedakan wacana berdasarkan dua kriteria. Pertama adalah berdasarkan fungsi bahasa. Berdasarkan fungsi itu wacana dibedakan menjadi dua kategori, yakni wacana transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional adalah wacana yang digunakan untuk mengekspresikan isi atau informasi yang ditujukan kepada pendengar, sedangkan wacana interaksional digunakan untuk menciptakan hubungan sosial dan hubungan personal, seperti wacana yang terdapat dalam dialog dan polilog. Dalam hal ini initeraksi dalam pembelajaran de kelas antara siswa dan guru, guru dengan siswa atau anatara siswa dengan siswa. Hal ini sesuai dengan namanya, wacana interaksional lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat interaksi.
Pada dasarnya analisis wacana ingin menganalisis atau menginterpretasikan pesan dimaksud pembicara atau penulis dengan cara merekonstruksi teks sebagai produk ujaran atau tulisan sehingga diketahui segala konteks yang mendukung wacana pada saat wacana itu dalam proses dihasilkan melingkupi pembicara atau penulis akan dihadirkan kembali (direkonstruksi) dan dijadikan alat untuk menginterpretasi. Hal tersebut dapat menggunakan prinsip lokalitas dan analogi.
Jika penganalisis melakukan analisis terhadap wacana lisan atau tulisan, analisis itu dapat dilakukan pada tingkat tataran, yaitu (1) tataran struktural gramatikal kalimat, (2) tataran makna, dan (3) tataran organisasi ujaran. Ketiga tataran ini menuntun penganalisis untuk bisa membedakan pola gramatikal, pola kalimat semantis, dan pola kalimat komunikatif. Praanggapan dan implikatur dalam wacana dialog seperti yang akan dibahas dalam tulisan ini bisa dikatakan sebagai konstruksi pada kalimat komunikatif, yang bisa diorientasikan pada istilah pragmatic function termasuk analisis fungsi pragmatik. Van Dijk (dalam Suparno, 1991: 19) manyatakan bahwa informasi pragmatis terdiri atas tiga komponen, yaitu (1) informasi lama yang berhubungan dengan dunia, yang juga informasi umum (general information), (2) informasi situasional (situational information), yaitu infomasi diturunkan dari pemahaman atau pengalaman partisipan dalam situasi tempat terjadinya interaksi, dan (3) informasi kontekstual (contextual information) yaitu informasi yang diturunkan dari ekspresi yang telah diarahkan peristiwa komunikasi.
Sebagai wacana lisan interaksional dalam pembelajaran di kelas dianalisis merupakan bahan yang menarik bagi penganalisis wacana. Hal ini terjadi karena di samping memuat hubungan antara pernyataan, juga dialog sangat kaya dengan unsur-unsur paralinguistik yang akan membantu pendengar atau penganalisis dalam menginterpretasi, memberi makna, dan menemukan hubungan antarpernyataan tersebut.
Analisis wacana menganalisis penggunaan bahasa dalam konteks pembicara atau penulis. Dengan demikian analisis wacana akan mendeskripsikan apa yang dimaksudkan oleh pembicara dan pendengar melalui wacana tersebut. Dalam kaitan dengan ini yang perlu diperhatikan adalah referensi (reference) dan infrensi (inference), praanggapan (presuppotion) dan implikatur (implicature), konteks situasi (the contex of situation) dan ko-teks (co-text), tematisasi dan penahapan, konstruksi tema-rema, pronomina serta interpretasi lokal (local interpretation).
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, dalam kajian analisis wacana secara langsung ataupun tidak semua aspek tersebut akan mempengaruhi dan saling keterkaitan. Oleh karena itu, untuk melihat keterkaitan tindak tutur antara guru dengan siswa atau sebaliknya maka dalam kesempatan ini penulis hanya memfokuskan pada kajian praanggapan dan implikatur dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada kompetensi pembelajaran sastra, baik puisi maupun prosa dalam bentuk transkripsi. Tuturan yang telah transkripsi itulah penulis menganalisis tuturan tersebut berdasarkan praanggapan dan implikatur guru dengan siswa atau sebaliknya dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Sesuai dengan pemikiran di atas, maka tulisan bertujuan untuk mendeskripsikan keterakitan antara praanggapan guru dengan implikatur siswa dan menemukan hubungan antara pernyataan-pernyataan guru dan siswa pada pembelajaran bahasa Indonesia khususnya pembelajaran prosa dan puisi. Kemudian dilanjutkan dengan menginterpretasi, merekontruksi, dan memberi makna pada wacana tersebut.
Analisis wacana adalah kajian tentang penggunaan oleh komunitas bahasa yang melibatkan baik kajian tentang bentuk maupun fungsi bahasa (Yasin, 2002). Analisis wacana berkaitan juga dengan masyarakat dan masalah komunikasi setiap hari yang bersifat interaktif atau dialogis (M. Stubbs, 1983; dalam Yasin, 2002). Selanjutnya ia membagi wacana secara garis besar yaitu ada wacana lisan dan ada wacana tulis. Wacara lisan berbentuk komunikasi verbal antarpersona, sedangkan wacana tulis menampilkan dalam bentuk teks. Wacana harus dibedakan dari teks. Wacana menekankan pada proses, sedangkan teks pada produk kebahasaan. Sebuah unit percakapan dapat dilihat dari teks apabila menganalisis melihat hubungan kebahasaan antartuturan. Sebaliknya, percakapan dilihat dari wacana apabila dikaji adalah proses komunikasi sehingga menghasilkan interpretasi. Adapun wacana lisan tersebut yang akan dibahas di sini adalah dalam bentuk dialog Liputan Enam Petang SCTV sebagai suatu ucapan, percakapan, dan kuliah yang berbentuk ujaran lisan dalam proses komunikasi.
Praanggapan adalah praanggapan pragmatis, yaitu yang ditentukan batas-batasnya berdasarkan anggapan berbicara mengenai apa yang kemungkinan akan diterima oleh pendengar tanpa tantangan (Givon, 1979; dalm Brown dan Yule, 1996: 28-29). Senada dengan itu praanggapan apa yang dikemukakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan (Stalnaker, 1978; dalam Brown dan Yule, 1996: 29). Dalam hal ini praanggapan kedua belah pihak, baik itu dari guru ataupun siswa atau sebaliknya memiliki dasar pemahaman yang sama sehingga komunikasi dapat berlangsung sehingga diperlukan juga implikatur di dalam suatu percakapan/dialog penutur dengan petutur. Dalam artian bahwa praanggapan adalah sebagai suatu hal yang dianggap penutur sebagai dasar berpijak untuk menuturkan suatu kalimat dalam ujaran.
Hubungan antara pernyataan dalam analisis wacana menggunakan dua konsep dasar, yaitu kewajaran (apropresteness atau felicity) dan pengetahuan bersama (mutal knowledge atau commen ground atau join assumtion) (Lawrensen, 1983 dalam Lubis, 1991: 61). Oleh sebab itu, tuturan guru hendaklah dapat diketahui oleh siswa supaya siswa dapat memahami tuturan guru.
Istilah “implikatur” dipakai oleh Grice (1975) untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disamakan atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur (Brown dan Yule, 1996: 31). Artinya implikatur adalah informasi implisit yang dapat ditentukan berdasarkan suatu tuturan. Dalam implikatur hanya sebagian arti literal yang turut mendukung artinya sebenarnya dari sebuah kalimat, selebihnya berasal dari fakta-fakta di sekeliling kita dalam hal ini analogi lokal sangat berperan penting, situasi, dan kondisinya.
Secara garis besar implikatur dikelompokan menjadi dua hal yaitu implikatur konvensional dan implikatur percakapan. Implikatur konvensional, diartikan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai. Sedangkan implikatur percakapan yang dituturkan dari asas umum percakapan ditambah sejumlah petuah yang biasanya dipatuhi oleh penutur. Asas umum ini disebut Asas Kerja Sama (cooperative principle) baik itu konteks kuanatitas (kerja sama dalam bentuk jawaban yang belum pasti), kualitas (kerja sama dalam bentuk sesuai), hubungan atau relasi (kerja sama dalam bentuk jawaban yang belum sesungguhnya, bergantung pada interpretasi penanya), maupun cara (kerja sama dalam bentuk yang tidak langsung menjawab pertanyaan karena kebiasaan) (Brown dan Yule, 1996: 30). Dalam banyak hal, implikatur itu harus tidak dinyatakan karena sudah menjadi pengetahuan umum.
Menurut Levenson (dalam Lubis, 1991: 70) ada empat macam faedah konsep implikatur itu, yaitu (1) dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tak terjangkau oleh teori linguistik, (2) dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah yang dari yang dimaksud si pamakai bahasa, (3) dapat memberikan pemerian sementik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama, dan (4) dapat memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora). Hal tersebut telah dibuktikan juga oleh H.P. Grice tahun 1967 yang menyatakan bahwa implikatur percakapan untuk menanggulangi persoalan makna bahasa yang tak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Jadi konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara apa yang diucapkan dengan apa yang diimplikasikan (Nababan, 1989: 28).
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan content analysis dengan tidak mengabaikan konteks dalam dialog. Secara deskriptif penelitian ini dilakukan semata-mata berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara emperis dilakukan oleh penuturnya, sedangkan secara kualitatif dengan pendekatan content analysis bertujuan mengungkapkan isi dan pesan-pesan/maksud yang terkandung pada setiap ujaran berdasarkan hubungan kerja samanya pada setiap ujaran yangdikemukakan baik oleh guru maupun siswa. Hal tersebut untuk memberi makna pada pesan yang terkandung di dalamnya terutama praanggapan dan implikatur setiap ujaran dengan menggambarkan gejala tindak ujar yang terjadi (Mardalis, 1995:26 dan Muhadjir, 1996:49). Data dari tulisan ini adalah turan siswa dengan guru dari dua belas kegiatan pembelajaran pada saat pembelajaran bahasa Indonesia telah ditranskripsikan oleh Suryanti (2009), Maria (2000), dan Subekti (2006). Kemudian data dianalisis dengan teknik meyeleksi tindak tutur guru dengan siswa tersebut untuk layak dianalisis berdasarkan transkipsi rekaman yang sudah ada, menginventarisasikan dan mengklasifikasikan, menabuliasikan, dan merumuskan kesimpulan (Irawan, 1999:85).
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan content analysis dengan tidak mengabaikan konteks dalam dialog. Secara deskriptif penelitian ini dilakukan semata-mata berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara emperis dilakukan oleh penuturnya, sedangkan secara kualitatif dengan pendekatan content analysis bertujuan mengungkapkan isi dan pesan-pesan/maksud yang terkandung pada setiap ujaran berdasarkan hubungan kerja samanya pada setiap ujaran yangdikemukakan baik oleh guru maupun siswa. Hal tersebut untuk memberi makna pada pesan yang terkandung di dalamnya terutama praanggapan dan implikatur setiap ujaran dengan menggambarkan gejala tindak ujar yang terjadi (Mardalis, 1995:26 dan Muhadjir, 1996:49). Data dari tulisan ini adalah turan siswa dengan guru dari dua belas kegiatan pembelajaran pada saat pembelajaran bahasa Indonesia telah ditranskripsikan oleh Suryanti (2009), Maria (2000), dan Subekti (2006). Kemudian data dianalisis dengan teknik meyeleksi tindak tutur guru dengan siswa tersebut untuk layak dianalisis berdasarkan transkipsi rekaman yang sudah ada, menginventarisasikan dan mengklasifikasikan, menabuliasikan, dan merumuskan kesimpulan (Irawan, 1999:85).
PEMBAHASAN
Tindak tutur pembelajaran dianalisis berdasarkan kompetensi dasar yang telah ditranskripsikan, baik pada pada jenjang SD, SMP, ataupun SMA. Adapun kompetensi yang dikaji, yaitu mendengarkan puisi dan cerita rakyat, menulis berbagai karya sastra, mendiskusikan masalah, membaca puisi, memahami pantun, menentukan kalimat utama, membaca puisi, menemukan pokok isi bacaan, menggunakan huruf kapital, membandingkan isi teks, menggunakan kata ulang, dan membaca cerita rakyat. Berdasarkan kompetensi dasar inilah akan dianalisis tidak tutur yang guru dan siswa lakuakan karena suatu tindak tutur yang dihasilkan sangat tergantung kepada kompetensi atau tujuan pembelajaran.
Untuk memudahkan dalam penganalisisan baik itu menginterpretasikan, memberikan makna, melihat keterkaitan antar ujaran praanggapan dan implikatur dalam dialog yang dikemukakan guru dengan siswa, penulis membagi ke dalam tiga bagian besar kelompok isi wacana lisan antara lain bagian pembuka, isi, dan penutup. Pembagian ini sesuai dengan kegiatan pembelajaran di kelas.
1. Pembuka
Membuka pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan suasana siap mental dan menimbulkan perhatian siswa agar terpusat pada hal-hal yang akan dipelajari (Saadie, 2007:3.46). Kegiatan membuka pelajaran tersebut tidak hanya dilakukan pada awal jam pelajaran, melainkan juga pada awal setiap penggal kegiatan dari inti kegiatan yang diberikan selama jam pelajaran itu berlangsung. Untuk menciptakan suasana siap mental siswa terhadap hal-hal yang dipelajari, guru dapat melakukan usaha-usaha, seperti memberikan acuan dan apersepsi (membuat kaitan antara pelajaran yang telah diberikan dengan bahan baru yang akan dipelajari).
Apabila guru sudah melaksanakan membuka pelajaran dengan baik, siswa akan siap secara mental karena guru telah memberikan atau menjelaskan tujuan pembelajaran, masalah-masalah pokok yang harus diperhatikan, langkah-langkah kegiatan belajar yang akan dilakukan, dan batas-batas tugas yang harus dikerjakan untuk mengusasi pelajaran tersebut. Selian itu, untuk menumbukan perhatian dan motivasi siswa terhadap hal-hal yang dipelajari, guru dapat melakukan usaha-usaha, seperti menimbulkan rasa ingin tahu, menunjukkan sikap hangat dan antusias, memberikan variasi mengajar (termasuk di dalamnya variasi gaya mengajar, gerak dan mimik, variasi media dan alat pembelajaran, serta variasi pola interaksi). Siswa yang telah termotivasi dan penuh perhatian, akan melaksanakan tugas dengan penuh gairah, semangat yang tinggi, serta cepat bereaksi terhadap pertanyaan-pertanyaan guru.
Adapun komponen-komponen membuka pelajaran yang harus dikuasai guru, yaitu menarik perhatian siswa, menimbulkan motivasi, memberikan acuan, dan membuat kaitan (Saadie, 2007:3.49 s.d. 3.53). Menarik perhatian siswa dapat dilakukan dengan gaya mengajar, seperti gerak atau posisi guru, kontak pandang atau suara guru, dan penggunaan pause atau kementar yang jelas; penggunaan berbagai media, seperti gambar disertai model atau benda yang sebenarnya; perubahan pola interaksi guru, seperti guru bertanya siswa menjawab atau sebaliknya atau siswa diskusi dalam kelompok kecil. Menimbulkan motivasi dapat dilakukan dengan kehangatan dan penerimaan guru, seperti semangat, antusias, dan bersahabat; menimbulkan rasa ingin tahu, seperti bercerita dalam bentuk teka-teki; mengemukakan konsep bertentangan, seperti mengemukakan suatu masalah; memperhatikan minat siswa, seperti menyesuaikan pokok pelajaran dengan tingkat perkembangan;karakteristik anak. Memberikan acuan dapat dilakukan dengan komentar pada awal pelajaran, seperti menghubungkan sedikit materi yang lalu; menentapkan tujuan untuk tugas tertentu, seperti memberikan gambaran ruang lingkup materi; menyarankan langkah-langkah yang akan dilakukan, seperti penjelasan cara kerja sebelum praktik; mengajukan pertanyaan, seperti mennanyakan seusatu apa yang dilihat atau diamati. Membuat kaitan dapat dilakukan dengan menghubungkan aspek yang relevan, seperti meninjau kembali; membandingkan pengetahuan baru dengan yang sudah; menyajikan konsep.
Berbagai variasi guru dalam memulai pembelajaran. Hal tersebut kadang kala disesuaikan dengan aturan yang berlaku di sekolah, seperti pada pembuka pelajaran berikut ini. Saat guru measuki kelas, semua siswa sudah dalam keadaan berdiri untuk menghormati dan memberi salam kepada guru atas instruksi dari ketua kelas. Kemudian guru memriksa masing-masing siswa mengenai kerapian dan kebersihan pakaian dan kelas. Setelah guru sudah memeriksa satu persatu, guru akhirnya berpraanggapan dengan tuturan G: Ketua kelas siapkan! Tanpa menjawab ya atau tidak atau baik, Bu, ketua kelas langsung mengomandoi teman-teman dengan implikaturnya S: Beri salam kepada Ibu guru. Itu mengimplikasikan bahwa kondisi kelas sudah baik dan siap untuk menerima materi pembelajaran oleh guru sehingga siswa yang lain mengucapkan salam dan guru pun menjawab salam. Kondisi ini mengimplikasikan bahwa dalam tuturan antara siswa dan guru dalam prinsip kerja sama mengacu pada maksim relevansi.
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Seperti yang dilakukan oleh guru dan siswa tersebut. Hal itu juga terlihat pada tuturan berikut. G: Ketua kelas sepidolnya mana? Saat itu guru mengecek kesiapan siswa sebelum memulai pelajaran, tetapi sudah mencari-cari sepidol di laci meja dan di tempat kotak sepidol, guru tidak menemukan sepidol sehingga guru bertanya kepada ketua kelas. Ketua kelas menjawab S: Bu Meri belum datang Bu. Sebelum pembelajaran di mulai sebenarnya ketua kelas sudah menyiapkan semua perlengkapan kelas, tetapi sepidol masih belum bisa didapatkan karena ruang TU masih tutup atau dalam artian staf/Bu Meri sampai pembelajaran dimulai belum juga datang. Implikatur siswa walaupun sepidolnya diambil maka akan percuma atau tidak bisa didapatkan. Guru pun memahami hal itu sehingga guru mengeluarkan sepidol yang ada di dalam tasnya.
Saat guru membuka pelajaran yang tidak kalah pentingnya, yaitu memberikan acuan dan apersepsi (membuat kaitan antara pelajaran yang telah diberikan dengan bahan baru yang akan dipelajari). Dalam konteks ini sebenarnya prinsip kerja sama pada maksim relevansi jarang terjadi, tetapi hal tersebut masih ada tuturan siswa yang implikaturnya mengacu pada maksim relevansi, seperti pada tuturan guru dengan siswa berikut. G: Pada pelajaran yang lalu kita telah belajar tentang pantun. Anak-anak sebagian ada yang sudah bisa membuat pantun? Sebelum kita belajar anak-anak ini ada pantun. Coba Adi bacakan di depan kelas! Guru menyuruh Adi membacakan di depan kelas karena praanggapan guru bahwa Adi sangat mahir dalam membaca pantun sehingga guru menyuruh Adi untuk memberikan model/contoh yang baik bagi teman-temannya. S: Saya masih batuk, Bu. Implikatur Adi sebenarnya ingin membacakan pantun itu, tetapi karena batuk sehingga suaranya agak terganggu. Membaca pantun bagi Adi memerlukan suara yang baik agar enak didengar oleh teman-teman dan gurunya. Guru sangat memahami implikaturnya Adi. Apalagi ketika Adi menjawab pertannyaan darinya suara Adi memang agak serak.
Prinsip kerja sama dalam praanggapan dan implikatur guru dan siswa lebih dominan terjadi pada maksim kualitas. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya dengan bukti-bukti yang memadai. Hal ini terjadai pada tuturan saat guru dan siswa melakukan apersepsi dalam pembelajarannya, seperti pada tuturan berikut ini.
G: Kalau kata teman Anda, narasi itu cerita. Cerita yang bagaimana?
S: Cerita yang memiliki tema, alur, tokoh, amanat, setting.
G: Cerita ada setting, ada tokoh, ada amanat, ada apa lagi?
Ditambah lagi apa?
S: Alur
G: Alur itu menceritakan berdasarkan apa?
S: Berdasarkan urutan waktu.
Guru mengajukan pertannyaan berturut-turut kepada siswanya itu praanggapan guru bahwa guru ingin menggali informasi pemahaman siswa terhadap materi yang sudah dipelajari agar dapat menghubungkan materi yang akan dipelajari. Implikasinya bahwa siswa sangat memahami pelajaran yang telah dipelajari sehingga siswa menjawab pertanyaan guru dengan pemahaman yang sebenarnya. Setelah mengajukan pertanyaan, guru memngajak siswa untuk melanjutkan materi pelajaran yang masih ada hubungan dengan pelajaran sebelumnya, yaitu membaca wacana eksposisi.
Guru dapat juga melakukan suatu tuturan yang dapat menarik perhatian siswa. Tuturan ini lebih mengacu kepada prinsip kerja sama maksim cara. Maksim cara di sini dimaksudkan guru menuturkan praanggapan berikut dikarenakan suatu kebiasaan. Kebiasaan ini merupakan retoris dalam berbahasa. Hal tersebut mengmpliasikan bahwa keinginan guru agar siswa tidak lagi ribut. Walaupun jawaban siswa sebenarnya hanya sekadar penguatan semata karena tanpa ditanyapun sebenarnya guru sudah tahu jawaban dari siswa tersebut, seperti pada tuturan berikut ini.
G: Mau belajar enggak?
S: Mau..(menjawab serentak)
G: Kalau mau belajar, jangan ribut. Bagaimana mau belajar kalau ribut terus itu…(membuka buku paket dan mencari materi pelajaran yang akan diajarkan)
2. Isi
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
Dalam kegiatan eksplorasi, guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber; guru menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar lain; guru memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; guru melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan guru memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.
Guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan atau sedang dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber. Hal itu terlihat ketika guru menanyakan tentang gravitasi bumi yang berhubungan dengan teks bacaan. Tindak tutur ini lebih menerapkan prinsip kerja sama maksim kualitas. Kesesuaian jawaban tersebut terlihat ketika siswa menjawab dan guru membenarkan dari jawabannya dalam bentuk pengulangan di dalam pertanyaannya, seperti pada penggalan tuturan berikut ini
G: Ya, ada yang pernah baca gravitasi bumi? Ada yang tahu? Apa itu gravitasi bumi, Alita?
S: Gaya tarik.
G: Siapa bisa mencontohkan terjadinya gaya tarik bumi. Eko coba contohkan!
S: Suatu benda jatuh.
Guru menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar lain. ; ………..
Guru memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya. Selain itu guru juga melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran, seperti pada tuturan berikut.
G: Kalau puisi karangan terikat, kalau prosa karangan bebas. Terikat bagaiman bingung ibu?
S: Maksudnya kalau puisi itu ada aturan-aturannya misalnya bait.
G: Ada baitnya.
S: Terus maknanya ada tersirat.
G: Kata-katanya bermakna konotasi, kalau prosa maknanya denotasi.
Berdasarkan tuturan di atas dapat diimplikasikan bahwa guru dengan aktifnya berusaha melibatkan siswa supaya terjadi interaksi secara aktif. Hal itu terlihat ketika praanggapan guru seolah-olah bingung yang menginginkan pembenaran dan jawaban dari siswa agar yang diinginkan guru dalam pemahaman siswa menjadi benar adanya. Interaksi tuturan tersebut menggunakan prinsip kerjasama kamsim kualitas. Kesesaian jawaban menjadikan tuturan demi tuturan berjalan dengan baik.
Dalam kegiatan elaborasi, guru membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna; guru memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; guru memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; guru memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif can kolaboratif; guru memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; guru memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan balk lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; guru memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan r iasi; kerja individual maupun kelompok; guru memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan; guru memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.
Guru membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna, seperti pada tuturan dialog berikut. Walaupun teks bacaan sudah dibacakan oleh siswa yang lain, guru masih mencoba membiasakan agar siswa yang lain dapat membacanya kembali. Secara lisan, guru menginginkan apa yang dibaca bisa dipahami dengan baik dan membacanya juga dengan suar yang nyaring. Hal itu tidak saja paham secara individu, tapi paham juga bagi teman yang lain selain melatih artikulasi anak dalam membaca nyaring.
G: Tadi kaliansudah membaca semua, tapi ada yang belum mendengar karena suaranya kurang keras atau kurang lantang. Sekarang kita ulangi sekali lagi. Bapak mulai dari kelompok empat silahkan!
S: (siswa membaca bergantian hingga selesai)
G: Jadi, dari bacaan itu tentu kamu dapat mengetahui apa tujuan daripada kisah si Badi tadi. Tentu setelah kamu baca berulang-ulang kamu dapat memahami hal-hal tersirat dalam hati kita tentang si Bandi tadi. Mengapa si Bandi tadi menurut kamu? (memandang seluruh siswa) Apa anak pintar, apa anak durhaka?
S: Anak durhaka (menjawab serentak)
Tuturan di atas berdasarkan prinsip kerja sama menggunakan maksim kualitas. Artinya adanya kesesuaian apa yang diinginkan dengan penutur dengan petutur. Keseuaian tersebut terlihat dari jawaban siswa secara serentak. Selain itu, apa yang diinginkan oleh penutur dapat dipahami dengan baik oleh siswa. Hal itu juga terlihat bahwa guru memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas dan diskusi dalam kelompok untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis.
Guru memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut. Di sini siswa memberikan pemecahan suatu masalah dalam pendapatnya. Guru menyiasati siswanya agar rasa takut itu dapat diatasi oleh mereka maka guru membentuk diskusi dalam bentuk debat sehingga apa yang dikemukakan oleh siswa dapat membangun suatu opini yang alami dari teman-temannya. Dalam kelompok itu siswa bekerja sama dalam membahas dan menyelesaikan suatu permasalahan sehingga apa yang diputuskan/dihasilkan menjadi suatu kesepakatan bersama. Itu artinya bahwa guru juga memfasilitasi siswa dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif. Jika dilihat berdasarkan dialog berikut, tuturan berikut ini lebih mengacuk pada prinsip kerja sama dengan maksim kualitas karena jawaban dari siswa dalam memecahkan suatu masalah sudah didukung dengan bukti-bukti yang kuat.
G: Ya, kita anggap di sini adalah sebuah kerajaan. Di sini ada anak dalangnya. Silahkan! Silahkan, Nak! Mau pro pada Mohammad Yofanza atau pro kepada kepala suku.
S: Kalau masalah kebersihan tidak mungkin bisa menimbulkan penyakit. Lain seperti malaria, demam berdarah, penderita TBC. Kalau penyakit flu burung itukan berasal dari hewan. Hewan itukan bernafas dengan mengeluarkan virus. Virus yang mereka keluarkan kepada orang lain sehingga orang tersebut terkena virus tersebut. Jadinya saya tidak setuju dengan pendapat Mohammad Yofanza yang mengatakan baahwa virus flu burung itu berasal dari kebersihan karena virus flu burung itu menyebar melalui udara, Bu.
Guru memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar. Bekompetensi secara sehat di sini bahwa guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menampilkan kemampuannya baik secara lisan maupun tulis. Secara lisan misalnya siswa tampil di depan kelas untuk membacakan puisi. Siswa yang lain diberi kesempatan untuk memberikan penilaian pada teman yang tampil. Sebaliknya yang menilai tadi akan tampil juga untuk dinilai. Selian itu, dapat dikatakan bahwa guru telah memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; guru memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan kreasi; kerja individual maupun kelompok. Itu artinya, penialaian dari mereka untuk mereka akan memberikan perbaikan pembelajaran yang baik sehingga siswa bekompetensi dengan temannya sendiri secara sehat dan wajar, seperti pada tuturan berikut ini.
G: Diana, Erin mana?
S: Saya Bu.
G: Ya, Erin.
S: (siswa membacakan puisi di depan kelas)
S: (menyimak dengan saksama)
S: (selesai membacakan puisinya)
S: (bertepuk tangan)
S: Terlalu monoton.
G: Suaranya keras lagi, Van.
S: Terlalu monoton, Mimik wajahnya seperti itu-itu terus, Nilainya
7,5.
Tuturan di atas implikaturnya bahwa yang diinginkan oleh guru dari siswanya dapat memberikan suatu penampilan puisi yang baik. Tuturan yang dikemukakan oleh guru dalam menanyakan siswanya menunjukkan bahwa gurunya ingin informasi yang jelas dan mendukung shingga apa yang diharapkan memang demikian adanya. Beigitu juga pada komentar terhadap penempilan siswa lainnya dalam membacakan puisi. Jawaban siswa tersebut sangat diharapkan oleh gurunya dapat memberikan data yang kuat terhadap penampilan temannya. Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan itu menggunakan maksim kuantitas.
Guru memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan di sini maksudnya adalah puisi yang telah dibuat oleh siswa kemudian diberikan kesempatan untuk membacakannya di depan kelas. Hal tersebut dapat kita lihat dalam dialog berikut.
G: Sekarang kita lihat dulu Vina. Nuri kamu beri penilaian untuk Vina (Vina selesai membaca puisi di depan kelas. Guru dan seluruh siswa bertepuk tangan)
G: Nuri berikan komentar.
S: Ehm…Vina masih terpaku pada teks. Matanya masih terfokus pada teks.
G: Jadi kontak dengan penonton kurang? Ya, terus.
S: Cara membacanya terlalu cepat. Jedahnya, Bu.
Kesesuaian tuturan dari dialog di atas dapat dilihat ketika praanggapan dari impilkatur siswa diulang kembali oleh guru. Kata ya, terus membuktikan bahwa jawaban yang telah dikemukakan sebelumnya memang demikian adanya. Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan di atas mengacu pada maksim kualitas. Alasan lain selain itu adalah bahasa yang digunakan oleh guru secara lugas sehingga dapat dipahami dengan baik oleh siswa.
Guru memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik. Tuturan yang bisa dilakukan guru dalam menumbuhkan rasa percaya diri siswa seperti pada turan berikut ini.
G: Ya, bagus. Siapa lagi yang mau mencoba? Jangan takut, siapa yang mau mencoba majulah ke depan ini. Pelangi kan bisa. Kalau Pelangi bisa, kalian harus bisa.
S: (Siswa yang lain maju)
G: Ya, bagus Rani. Tepuk tangan. Siapa lagi?
Tuturan yang dikemukakan guru sangat bijaksana dalam menumbuhkan rasa percaya diri anak “Kalau Pelangi bisa, kalian harus bisa”. Itu artinya siswa akan lebih tertantang untuk mencoba dan percaya diri pun lebih kuat untuk mencoba. Praanggapan guru dengan kata-kata demikian akan memberikan peluang besar bagi siswa yang lain untuk mencoba. Begitu juga sebaliknya, siswa dalam implikaturnya akan merasa lebih mudah dalam mengerjakan latihan tersebut. Ini terbukti setelah siswa mengerjakan tugasnya baru ada pembenaran dsari guru terhadap apa yang telah dikerjakannya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip kerja sama pada maksim kualitas.
Dalam kegiatan konfirmasi, guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, guru memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber, guru memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan, guru memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar: berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar; membantu menyelesaikan masalah; memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi; memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, seperti pada tuturan berikut. Guru memberikan penguatan secara verbal maupun nonverbal. Hal itu bukan saja dilakukan oleh guru, melainkan siswa yang lain ikut berpartisipasi aktif terhadap keberhasilan teman-temannya.
G: Ya, bagus! Tepuk tangan!
S: (bertepuk tangan)
G: Sekarang siapa lagi yang berani. Coba yang laki-laki. Ayo siapa bisa! Megi bisa?
S: (Megi maju ke depan membacakan pantun)
G: Ya, bagus. Tepuk tangan lagi!
S: (bertepuk tangan)
Penguatan tersebut berdasarkan prinsip kerja sama termasuk maksim kualitas. Walaupun tidak dijawab secara langsung atau lisan melainkan sebgian ada dalam bentuk tepukan dan sebagian lagi dalam bentuk ujaran, penguatan tersebut sudah ada kerja sama dengan baik dalam kesamaan pemahaman antara siswa dengan guru atau antara siswa dengan siswa.
Guru memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber. Eksplorasi tersebut berupa kalimat yang digunakan guru lebih kontektual atau ada di lingkungan siswa sendiri. Seperti pada tuturan berikut bahwa guru memberikan konfirmasi kepada siswa terhadap jawaban yang telah mereka kemukakan sendiri. Jawaban dari tuturan siswa memberikan kontribusi yang cukup yang dibutuhkan guru. Kata Satu antaranya ingat! Utuh yang dituturkan oleh guru membuktikan bahwa informasi yang dibutuhkannya sudah cukup sehingga guru melanjutkan ke pertanyaan berikutnya.Hal tersebut terlihat bahawa guru menggali informasi terhadap pertanyaan yang dikemukakan. Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan berikut mengacu pada maksim kuantitas.
G: Sekarang coba coba perhatikan. Di ruang kelasku, banyak
terdapat jendela-jendela yang terbuka. Jendela-jendela itu kata
apa itu?
S: Kata ulang (serentak)
G: Kata ulang, kata ulang itu ada berapa macam?
S: Ada empat.
G: Empat? Yakin empat? Empat atau lima?
S: Empat (serempak).
G: Siapa yang lima? Empat atau tiga?
S: Empat (serempak).
G: Empat atau lima?
S: empat (serempak)
G: Kita buktikan sekarang. Sekarang tidak usah saling curiga,
saling suara nanti kalian bingung. Kalau utuh bagaimana?
S: Tidak berubah (serempak).
G: Kalau jendela-jendela di kelasku banyak terbuka. Itu jenis kata
ulang apa?
S: Utuh (serempak).
G: Sekarang yang kedua. Satu antaranya ingat! Utuh. Yang kedua
tidak ada yang menulis. Kalau mobil-mobilan?
S: Berimbuhan (serempak)
Guru memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan. Refleksi di sini diberikan oleh guru dalam mendukung dalam memperkuat argumen siswa. Argumen siswa tersebut dapat meyakinkan guru bahwa yang terjadi memang benar adanya, seperti pada tuturan berikut.
G: Oh…begitu.
S: Melalui foto mesra itu akan nampak biar orang tahukan. Wah… ini pasangan yang setia, mesra, dan serasi.
S: Huuuu…(sebagian siswa bertepuk tangan)
G: O..ya bagus sekali. Silahkan dari kubu yang tidak setuju.
S: Ha…ha..ha…(tertawa serempak)
G: Ayo lagi yang mana Ki lawan Ki!
S: Saya perwakilan dari kubu yang tidak setuju karena kan rata-rata yang undangan yang ada foto mesra itukan, rata-rata kelas elite kan Bu. Jadi, nampak nanti kesenjangan sosial kalau undangan yang bagus ada foto-foto berartikan itu orang-orang kaya, sedangkan yang sederhana itu kurang mampu.
Tuturan guru dengan siswa di atas memperlihatkan hubungan kerja sama dengan menggunakan maksim kualitas. Maksim ini memberikan praanggapan dan implikatur adanya kesesuaian antara pertanyaan dengan jawaban. Di sini guru menginginkan siswa menjawab dengan baik dan siswapun menjawabnya sesuai apa yang diinginkan berdasarkan pertanyaan yang diajukan oleh guru. Hak tersebut membuktikan bahwa guru dapat memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar. Selain itu, guru juga berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar; membantu menyelesaikan masalah; memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi; memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
3. Penutup
Kegiatan menutup pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru untuk mengakhiri kegiatan inti pembelajaran (Saadie, 2007:3.47). Kegiatan menutup pelajaran dimaksudkan untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang apa yang telah dipelajari siswa, serta mengetahui tingkat pencapaian siswa dan tingkat keberhasilan guru dalam proses pembelajaran. Usaha-usaha yang dapat dilakukan guru, antara lain merangkum kembali atau meminta siswa membuat ringkasan dan mengadakan evaluasi tentang materi pelajaran yang baru saja dibahas. Kegiatan menutup pelajaran ini juga dilakukan guru tidak saja pada akhir pelajaran, tetapi juga pada akhir setiap penggal kegiatan dari inti pembelajaran yang diberikan selama jam pelajaran itu.
Tuturan kegiatan menutup pelajaran dalam prinsip kerjasama lebih dominan mengacu pada maksim kualitas. Maksim kualitas ini mengimplikasikan bahwa siswa dan guru sudah sangat saling memahami apa yang telah dipelajari sehingga tuturan yang dihasilkan sesuai dengan keadaan sebenarnya, seperti pada tuturan beikut ini.
G: Ada lagi Nak selain tempo?
S: Ekspresi, Bu.
G: Ya, membaca puisi tidak bisa dikatakan berhasil jika kalian tidak bisa mempengaruhi orang yang mendengar. Jangan ragu-ragu menampakkan mimik muka kalian. Kalau sedih, tunjukkan sedih. Kalau gembira, tunjukkan gembira. Kalau meremehkan, tunjukkan dengan meremehkan. Seperti tadi kata Ade, Bu puisi ini saya ciptakan sebagai kritik terhadap wanita. Jadi selamat berkarya dan sampai jumpa.
Tuturan dalam bentuk pertanyaan mengimplikasikan bahwa guru menginginkan penguatan dari siswa bahwa siswa telah memahami terhadap materi yang telah dipelajari. Selain itu, guru berpraanggapan hal itu perlu dikuatkan lagi dalam bentuk simpulan. Namun, berdasarkan tuturan yang ditemui dari sembilan kegiatan pembelajaran, guru jarang menyimpulkan dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Kegiatan yang dilakukan lebih kepada penugasan. Kegiatan menutup ini lebih pada inti dari menutup pelajaran, seperti pada tuturan berikut.
G: Anak-anak waktu sudah habis.
S: Sudah (sebagian)
S: Belum, Bu (sebagian)
G: Ya, yang belum selesai lanjutkan di rumah sekarang kumpulkan
tugas puisi yang kemarin.
G: Siapkan ketua!
Berdasarkan prinsip kerja sama pada maksim kualitas memang guru dan siswa sudah melakukan tuturan dengan sebenarnya, tetapi guru masih belum memahami dalam kegiatan pembelajaran. Implikaturnya bahwa guru masih kurang mampu mengajak siswa untuk menerapkan kegiatan pembelajaran menutup yang baik. Menutup tidak sekadar tutup dan salam saja. Padahal, menutup pelajaran dilakukan untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang pokok-pokok materi yang dipelajari dengan cara meninjau kembali dan mengevaluasi (Saadie, 2007:3.53 s.d. 3.54). Meninjau kembali dapat dilakukan dengan cara merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan, sedangkan mengevaluasi dapat dilakukan dengan cara mendemonstrasikan keterampilan, mengaplikasikan ide baru, mengekspresikan ide guru, mengekspresikan ide baru, mengekspresikan pendapat, dan memberikan soal.
Tindak tutur pembelajaran dianalisis berdasarkan kompetensi dasar yang telah ditranskripsikan, baik pada pada jenjang SD, SMP, ataupun SMA. Adapun kompetensi yang dikaji, yaitu mendengarkan puisi dan cerita rakyat, menulis berbagai karya sastra, mendiskusikan masalah, membaca puisi, memahami pantun, menentukan kalimat utama, membaca puisi, menemukan pokok isi bacaan, menggunakan huruf kapital, membandingkan isi teks, menggunakan kata ulang, dan membaca cerita rakyat. Berdasarkan kompetensi dasar inilah akan dianalisis tidak tutur yang guru dan siswa lakuakan karena suatu tindak tutur yang dihasilkan sangat tergantung kepada kompetensi atau tujuan pembelajaran.
Untuk memudahkan dalam penganalisisan baik itu menginterpretasikan, memberikan makna, melihat keterkaitan antar ujaran praanggapan dan implikatur dalam dialog yang dikemukakan guru dengan siswa, penulis membagi ke dalam tiga bagian besar kelompok isi wacana lisan antara lain bagian pembuka, isi, dan penutup. Pembagian ini sesuai dengan kegiatan pembelajaran di kelas.
1. Pembuka
Membuka pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan suasana siap mental dan menimbulkan perhatian siswa agar terpusat pada hal-hal yang akan dipelajari (Saadie, 2007:3.46). Kegiatan membuka pelajaran tersebut tidak hanya dilakukan pada awal jam pelajaran, melainkan juga pada awal setiap penggal kegiatan dari inti kegiatan yang diberikan selama jam pelajaran itu berlangsung. Untuk menciptakan suasana siap mental siswa terhadap hal-hal yang dipelajari, guru dapat melakukan usaha-usaha, seperti memberikan acuan dan apersepsi (membuat kaitan antara pelajaran yang telah diberikan dengan bahan baru yang akan dipelajari).
Apabila guru sudah melaksanakan membuka pelajaran dengan baik, siswa akan siap secara mental karena guru telah memberikan atau menjelaskan tujuan pembelajaran, masalah-masalah pokok yang harus diperhatikan, langkah-langkah kegiatan belajar yang akan dilakukan, dan batas-batas tugas yang harus dikerjakan untuk mengusasi pelajaran tersebut. Selian itu, untuk menumbukan perhatian dan motivasi siswa terhadap hal-hal yang dipelajari, guru dapat melakukan usaha-usaha, seperti menimbulkan rasa ingin tahu, menunjukkan sikap hangat dan antusias, memberikan variasi mengajar (termasuk di dalamnya variasi gaya mengajar, gerak dan mimik, variasi media dan alat pembelajaran, serta variasi pola interaksi). Siswa yang telah termotivasi dan penuh perhatian, akan melaksanakan tugas dengan penuh gairah, semangat yang tinggi, serta cepat bereaksi terhadap pertanyaan-pertanyaan guru.
Adapun komponen-komponen membuka pelajaran yang harus dikuasai guru, yaitu menarik perhatian siswa, menimbulkan motivasi, memberikan acuan, dan membuat kaitan (Saadie, 2007:3.49 s.d. 3.53). Menarik perhatian siswa dapat dilakukan dengan gaya mengajar, seperti gerak atau posisi guru, kontak pandang atau suara guru, dan penggunaan pause atau kementar yang jelas; penggunaan berbagai media, seperti gambar disertai model atau benda yang sebenarnya; perubahan pola interaksi guru, seperti guru bertanya siswa menjawab atau sebaliknya atau siswa diskusi dalam kelompok kecil. Menimbulkan motivasi dapat dilakukan dengan kehangatan dan penerimaan guru, seperti semangat, antusias, dan bersahabat; menimbulkan rasa ingin tahu, seperti bercerita dalam bentuk teka-teki; mengemukakan konsep bertentangan, seperti mengemukakan suatu masalah; memperhatikan minat siswa, seperti menyesuaikan pokok pelajaran dengan tingkat perkembangan;karakteristik anak. Memberikan acuan dapat dilakukan dengan komentar pada awal pelajaran, seperti menghubungkan sedikit materi yang lalu; menentapkan tujuan untuk tugas tertentu, seperti memberikan gambaran ruang lingkup materi; menyarankan langkah-langkah yang akan dilakukan, seperti penjelasan cara kerja sebelum praktik; mengajukan pertanyaan, seperti mennanyakan seusatu apa yang dilihat atau diamati. Membuat kaitan dapat dilakukan dengan menghubungkan aspek yang relevan, seperti meninjau kembali; membandingkan pengetahuan baru dengan yang sudah; menyajikan konsep.
Berbagai variasi guru dalam memulai pembelajaran. Hal tersebut kadang kala disesuaikan dengan aturan yang berlaku di sekolah, seperti pada pembuka pelajaran berikut ini. Saat guru measuki kelas, semua siswa sudah dalam keadaan berdiri untuk menghormati dan memberi salam kepada guru atas instruksi dari ketua kelas. Kemudian guru memriksa masing-masing siswa mengenai kerapian dan kebersihan pakaian dan kelas. Setelah guru sudah memeriksa satu persatu, guru akhirnya berpraanggapan dengan tuturan G: Ketua kelas siapkan! Tanpa menjawab ya atau tidak atau baik, Bu, ketua kelas langsung mengomandoi teman-teman dengan implikaturnya S: Beri salam kepada Ibu guru. Itu mengimplikasikan bahwa kondisi kelas sudah baik dan siap untuk menerima materi pembelajaran oleh guru sehingga siswa yang lain mengucapkan salam dan guru pun menjawab salam. Kondisi ini mengimplikasikan bahwa dalam tuturan antara siswa dan guru dalam prinsip kerja sama mengacu pada maksim relevansi.
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Seperti yang dilakukan oleh guru dan siswa tersebut. Hal itu juga terlihat pada tuturan berikut. G: Ketua kelas sepidolnya mana? Saat itu guru mengecek kesiapan siswa sebelum memulai pelajaran, tetapi sudah mencari-cari sepidol di laci meja dan di tempat kotak sepidol, guru tidak menemukan sepidol sehingga guru bertanya kepada ketua kelas. Ketua kelas menjawab S: Bu Meri belum datang Bu. Sebelum pembelajaran di mulai sebenarnya ketua kelas sudah menyiapkan semua perlengkapan kelas, tetapi sepidol masih belum bisa didapatkan karena ruang TU masih tutup atau dalam artian staf/Bu Meri sampai pembelajaran dimulai belum juga datang. Implikatur siswa walaupun sepidolnya diambil maka akan percuma atau tidak bisa didapatkan. Guru pun memahami hal itu sehingga guru mengeluarkan sepidol yang ada di dalam tasnya.
Saat guru membuka pelajaran yang tidak kalah pentingnya, yaitu memberikan acuan dan apersepsi (membuat kaitan antara pelajaran yang telah diberikan dengan bahan baru yang akan dipelajari). Dalam konteks ini sebenarnya prinsip kerja sama pada maksim relevansi jarang terjadi, tetapi hal tersebut masih ada tuturan siswa yang implikaturnya mengacu pada maksim relevansi, seperti pada tuturan guru dengan siswa berikut. G: Pada pelajaran yang lalu kita telah belajar tentang pantun. Anak-anak sebagian ada yang sudah bisa membuat pantun? Sebelum kita belajar anak-anak ini ada pantun. Coba Adi bacakan di depan kelas! Guru menyuruh Adi membacakan di depan kelas karena praanggapan guru bahwa Adi sangat mahir dalam membaca pantun sehingga guru menyuruh Adi untuk memberikan model/contoh yang baik bagi teman-temannya. S: Saya masih batuk, Bu. Implikatur Adi sebenarnya ingin membacakan pantun itu, tetapi karena batuk sehingga suaranya agak terganggu. Membaca pantun bagi Adi memerlukan suara yang baik agar enak didengar oleh teman-teman dan gurunya. Guru sangat memahami implikaturnya Adi. Apalagi ketika Adi menjawab pertannyaan darinya suara Adi memang agak serak.
Prinsip kerja sama dalam praanggapan dan implikatur guru dan siswa lebih dominan terjadi pada maksim kualitas. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya dengan bukti-bukti yang memadai. Hal ini terjadai pada tuturan saat guru dan siswa melakukan apersepsi dalam pembelajarannya, seperti pada tuturan berikut ini.
G: Kalau kata teman Anda, narasi itu cerita. Cerita yang bagaimana?
S: Cerita yang memiliki tema, alur, tokoh, amanat, setting.
G: Cerita ada setting, ada tokoh, ada amanat, ada apa lagi?
Ditambah lagi apa?
S: Alur
G: Alur itu menceritakan berdasarkan apa?
S: Berdasarkan urutan waktu.
Guru mengajukan pertannyaan berturut-turut kepada siswanya itu praanggapan guru bahwa guru ingin menggali informasi pemahaman siswa terhadap materi yang sudah dipelajari agar dapat menghubungkan materi yang akan dipelajari. Implikasinya bahwa siswa sangat memahami pelajaran yang telah dipelajari sehingga siswa menjawab pertanyaan guru dengan pemahaman yang sebenarnya. Setelah mengajukan pertanyaan, guru memngajak siswa untuk melanjutkan materi pelajaran yang masih ada hubungan dengan pelajaran sebelumnya, yaitu membaca wacana eksposisi.
Guru dapat juga melakukan suatu tuturan yang dapat menarik perhatian siswa. Tuturan ini lebih mengacu kepada prinsip kerja sama maksim cara. Maksim cara di sini dimaksudkan guru menuturkan praanggapan berikut dikarenakan suatu kebiasaan. Kebiasaan ini merupakan retoris dalam berbahasa. Hal tersebut mengmpliasikan bahwa keinginan guru agar siswa tidak lagi ribut. Walaupun jawaban siswa sebenarnya hanya sekadar penguatan semata karena tanpa ditanyapun sebenarnya guru sudah tahu jawaban dari siswa tersebut, seperti pada tuturan berikut ini.
G: Mau belajar enggak?
S: Mau..(menjawab serentak)
G: Kalau mau belajar, jangan ribut. Bagaimana mau belajar kalau ribut terus itu…(membuka buku paket dan mencari materi pelajaran yang akan diajarkan)
2. Isi
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
Dalam kegiatan eksplorasi, guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber; guru menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar lain; guru memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; guru melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan guru memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.
Guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan atau sedang dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber. Hal itu terlihat ketika guru menanyakan tentang gravitasi bumi yang berhubungan dengan teks bacaan. Tindak tutur ini lebih menerapkan prinsip kerja sama maksim kualitas. Kesesuaian jawaban tersebut terlihat ketika siswa menjawab dan guru membenarkan dari jawabannya dalam bentuk pengulangan di dalam pertanyaannya, seperti pada penggalan tuturan berikut ini
G: Ya, ada yang pernah baca gravitasi bumi? Ada yang tahu? Apa itu gravitasi bumi, Alita?
S: Gaya tarik.
G: Siapa bisa mencontohkan terjadinya gaya tarik bumi. Eko coba contohkan!
S: Suatu benda jatuh.
Guru menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar lain. ; ………..
Guru memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya. Selain itu guru juga melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran, seperti pada tuturan berikut.
G: Kalau puisi karangan terikat, kalau prosa karangan bebas. Terikat bagaiman bingung ibu?
S: Maksudnya kalau puisi itu ada aturan-aturannya misalnya bait.
G: Ada baitnya.
S: Terus maknanya ada tersirat.
G: Kata-katanya bermakna konotasi, kalau prosa maknanya denotasi.
Berdasarkan tuturan di atas dapat diimplikasikan bahwa guru dengan aktifnya berusaha melibatkan siswa supaya terjadi interaksi secara aktif. Hal itu terlihat ketika praanggapan guru seolah-olah bingung yang menginginkan pembenaran dan jawaban dari siswa agar yang diinginkan guru dalam pemahaman siswa menjadi benar adanya. Interaksi tuturan tersebut menggunakan prinsip kerjasama kamsim kualitas. Kesesaian jawaban menjadikan tuturan demi tuturan berjalan dengan baik.
Dalam kegiatan elaborasi, guru membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna; guru memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; guru memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; guru memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif can kolaboratif; guru memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; guru memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan balk lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; guru memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan r iasi; kerja individual maupun kelompok; guru memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan; guru memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.
Guru membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna, seperti pada tuturan dialog berikut. Walaupun teks bacaan sudah dibacakan oleh siswa yang lain, guru masih mencoba membiasakan agar siswa yang lain dapat membacanya kembali. Secara lisan, guru menginginkan apa yang dibaca bisa dipahami dengan baik dan membacanya juga dengan suar yang nyaring. Hal itu tidak saja paham secara individu, tapi paham juga bagi teman yang lain selain melatih artikulasi anak dalam membaca nyaring.
G: Tadi kaliansudah membaca semua, tapi ada yang belum mendengar karena suaranya kurang keras atau kurang lantang. Sekarang kita ulangi sekali lagi. Bapak mulai dari kelompok empat silahkan!
S: (siswa membaca bergantian hingga selesai)
G: Jadi, dari bacaan itu tentu kamu dapat mengetahui apa tujuan daripada kisah si Badi tadi. Tentu setelah kamu baca berulang-ulang kamu dapat memahami hal-hal tersirat dalam hati kita tentang si Bandi tadi. Mengapa si Bandi tadi menurut kamu? (memandang seluruh siswa) Apa anak pintar, apa anak durhaka?
S: Anak durhaka (menjawab serentak)
Tuturan di atas berdasarkan prinsip kerja sama menggunakan maksim kualitas. Artinya adanya kesesuaian apa yang diinginkan dengan penutur dengan petutur. Keseuaian tersebut terlihat dari jawaban siswa secara serentak. Selain itu, apa yang diinginkan oleh penutur dapat dipahami dengan baik oleh siswa. Hal itu juga terlihat bahwa guru memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas dan diskusi dalam kelompok untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis.
Guru memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut. Di sini siswa memberikan pemecahan suatu masalah dalam pendapatnya. Guru menyiasati siswanya agar rasa takut itu dapat diatasi oleh mereka maka guru membentuk diskusi dalam bentuk debat sehingga apa yang dikemukakan oleh siswa dapat membangun suatu opini yang alami dari teman-temannya. Dalam kelompok itu siswa bekerja sama dalam membahas dan menyelesaikan suatu permasalahan sehingga apa yang diputuskan/dihasilkan menjadi suatu kesepakatan bersama. Itu artinya bahwa guru juga memfasilitasi siswa dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif. Jika dilihat berdasarkan dialog berikut, tuturan berikut ini lebih mengacuk pada prinsip kerja sama dengan maksim kualitas karena jawaban dari siswa dalam memecahkan suatu masalah sudah didukung dengan bukti-bukti yang kuat.
G: Ya, kita anggap di sini adalah sebuah kerajaan. Di sini ada anak dalangnya. Silahkan! Silahkan, Nak! Mau pro pada Mohammad Yofanza atau pro kepada kepala suku.
S: Kalau masalah kebersihan tidak mungkin bisa menimbulkan penyakit. Lain seperti malaria, demam berdarah, penderita TBC. Kalau penyakit flu burung itukan berasal dari hewan. Hewan itukan bernafas dengan mengeluarkan virus. Virus yang mereka keluarkan kepada orang lain sehingga orang tersebut terkena virus tersebut. Jadinya saya tidak setuju dengan pendapat Mohammad Yofanza yang mengatakan baahwa virus flu burung itu berasal dari kebersihan karena virus flu burung itu menyebar melalui udara, Bu.
Guru memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar. Bekompetensi secara sehat di sini bahwa guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menampilkan kemampuannya baik secara lisan maupun tulis. Secara lisan misalnya siswa tampil di depan kelas untuk membacakan puisi. Siswa yang lain diberi kesempatan untuk memberikan penilaian pada teman yang tampil. Sebaliknya yang menilai tadi akan tampil juga untuk dinilai. Selian itu, dapat dikatakan bahwa guru telah memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; guru memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan kreasi; kerja individual maupun kelompok. Itu artinya, penialaian dari mereka untuk mereka akan memberikan perbaikan pembelajaran yang baik sehingga siswa bekompetensi dengan temannya sendiri secara sehat dan wajar, seperti pada tuturan berikut ini.
G: Diana, Erin mana?
S: Saya Bu.
G: Ya, Erin.
S: (siswa membacakan puisi di depan kelas)
S: (menyimak dengan saksama)
S: (selesai membacakan puisinya)
S: (bertepuk tangan)
S: Terlalu monoton.
G: Suaranya keras lagi, Van.
S: Terlalu monoton, Mimik wajahnya seperti itu-itu terus, Nilainya
7,5.
Tuturan di atas implikaturnya bahwa yang diinginkan oleh guru dari siswanya dapat memberikan suatu penampilan puisi yang baik. Tuturan yang dikemukakan oleh guru dalam menanyakan siswanya menunjukkan bahwa gurunya ingin informasi yang jelas dan mendukung shingga apa yang diharapkan memang demikian adanya. Beigitu juga pada komentar terhadap penempilan siswa lainnya dalam membacakan puisi. Jawaban siswa tersebut sangat diharapkan oleh gurunya dapat memberikan data yang kuat terhadap penampilan temannya. Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan itu menggunakan maksim kuantitas.
Guru memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan di sini maksudnya adalah puisi yang telah dibuat oleh siswa kemudian diberikan kesempatan untuk membacakannya di depan kelas. Hal tersebut dapat kita lihat dalam dialog berikut.
G: Sekarang kita lihat dulu Vina. Nuri kamu beri penilaian untuk Vina (Vina selesai membaca puisi di depan kelas. Guru dan seluruh siswa bertepuk tangan)
G: Nuri berikan komentar.
S: Ehm…Vina masih terpaku pada teks. Matanya masih terfokus pada teks.
G: Jadi kontak dengan penonton kurang? Ya, terus.
S: Cara membacanya terlalu cepat. Jedahnya, Bu.
Kesesuaian tuturan dari dialog di atas dapat dilihat ketika praanggapan dari impilkatur siswa diulang kembali oleh guru. Kata ya, terus membuktikan bahwa jawaban yang telah dikemukakan sebelumnya memang demikian adanya. Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan di atas mengacu pada maksim kualitas. Alasan lain selain itu adalah bahasa yang digunakan oleh guru secara lugas sehingga dapat dipahami dengan baik oleh siswa.
Guru memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik. Tuturan yang bisa dilakukan guru dalam menumbuhkan rasa percaya diri siswa seperti pada turan berikut ini.
G: Ya, bagus. Siapa lagi yang mau mencoba? Jangan takut, siapa yang mau mencoba majulah ke depan ini. Pelangi kan bisa. Kalau Pelangi bisa, kalian harus bisa.
S: (Siswa yang lain maju)
G: Ya, bagus Rani. Tepuk tangan. Siapa lagi?
Tuturan yang dikemukakan guru sangat bijaksana dalam menumbuhkan rasa percaya diri anak “Kalau Pelangi bisa, kalian harus bisa”. Itu artinya siswa akan lebih tertantang untuk mencoba dan percaya diri pun lebih kuat untuk mencoba. Praanggapan guru dengan kata-kata demikian akan memberikan peluang besar bagi siswa yang lain untuk mencoba. Begitu juga sebaliknya, siswa dalam implikaturnya akan merasa lebih mudah dalam mengerjakan latihan tersebut. Ini terbukti setelah siswa mengerjakan tugasnya baru ada pembenaran dsari guru terhadap apa yang telah dikerjakannya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip kerja sama pada maksim kualitas.
Dalam kegiatan konfirmasi, guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, guru memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber, guru memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan, guru memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar: berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar; membantu menyelesaikan masalah; memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi; memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, seperti pada tuturan berikut. Guru memberikan penguatan secara verbal maupun nonverbal. Hal itu bukan saja dilakukan oleh guru, melainkan siswa yang lain ikut berpartisipasi aktif terhadap keberhasilan teman-temannya.
G: Ya, bagus! Tepuk tangan!
S: (bertepuk tangan)
G: Sekarang siapa lagi yang berani. Coba yang laki-laki. Ayo siapa bisa! Megi bisa?
S: (Megi maju ke depan membacakan pantun)
G: Ya, bagus. Tepuk tangan lagi!
S: (bertepuk tangan)
Penguatan tersebut berdasarkan prinsip kerja sama termasuk maksim kualitas. Walaupun tidak dijawab secara langsung atau lisan melainkan sebgian ada dalam bentuk tepukan dan sebagian lagi dalam bentuk ujaran, penguatan tersebut sudah ada kerja sama dengan baik dalam kesamaan pemahaman antara siswa dengan guru atau antara siswa dengan siswa.
Guru memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber. Eksplorasi tersebut berupa kalimat yang digunakan guru lebih kontektual atau ada di lingkungan siswa sendiri. Seperti pada tuturan berikut bahwa guru memberikan konfirmasi kepada siswa terhadap jawaban yang telah mereka kemukakan sendiri. Jawaban dari tuturan siswa memberikan kontribusi yang cukup yang dibutuhkan guru. Kata Satu antaranya ingat! Utuh yang dituturkan oleh guru membuktikan bahwa informasi yang dibutuhkannya sudah cukup sehingga guru melanjutkan ke pertanyaan berikutnya.Hal tersebut terlihat bahawa guru menggali informasi terhadap pertanyaan yang dikemukakan. Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan berikut mengacu pada maksim kuantitas.
G: Sekarang coba coba perhatikan. Di ruang kelasku, banyak
terdapat jendela-jendela yang terbuka. Jendela-jendela itu kata
apa itu?
S: Kata ulang (serentak)
G: Kata ulang, kata ulang itu ada berapa macam?
S: Ada empat.
G: Empat? Yakin empat? Empat atau lima?
S: Empat (serempak).
G: Siapa yang lima? Empat atau tiga?
S: Empat (serempak).
G: Empat atau lima?
S: empat (serempak)
G: Kita buktikan sekarang. Sekarang tidak usah saling curiga,
saling suara nanti kalian bingung. Kalau utuh bagaimana?
S: Tidak berubah (serempak).
G: Kalau jendela-jendela di kelasku banyak terbuka. Itu jenis kata
ulang apa?
S: Utuh (serempak).
G: Sekarang yang kedua. Satu antaranya ingat! Utuh. Yang kedua
tidak ada yang menulis. Kalau mobil-mobilan?
S: Berimbuhan (serempak)
Guru memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan. Refleksi di sini diberikan oleh guru dalam mendukung dalam memperkuat argumen siswa. Argumen siswa tersebut dapat meyakinkan guru bahwa yang terjadi memang benar adanya, seperti pada tuturan berikut.
G: Oh…begitu.
S: Melalui foto mesra itu akan nampak biar orang tahukan. Wah… ini pasangan yang setia, mesra, dan serasi.
S: Huuuu…(sebagian siswa bertepuk tangan)
G: O..ya bagus sekali. Silahkan dari kubu yang tidak setuju.
S: Ha…ha..ha…(tertawa serempak)
G: Ayo lagi yang mana Ki lawan Ki!
S: Saya perwakilan dari kubu yang tidak setuju karena kan rata-rata yang undangan yang ada foto mesra itukan, rata-rata kelas elite kan Bu. Jadi, nampak nanti kesenjangan sosial kalau undangan yang bagus ada foto-foto berartikan itu orang-orang kaya, sedangkan yang sederhana itu kurang mampu.
Tuturan guru dengan siswa di atas memperlihatkan hubungan kerja sama dengan menggunakan maksim kualitas. Maksim ini memberikan praanggapan dan implikatur adanya kesesuaian antara pertanyaan dengan jawaban. Di sini guru menginginkan siswa menjawab dengan baik dan siswapun menjawabnya sesuai apa yang diinginkan berdasarkan pertanyaan yang diajukan oleh guru. Hak tersebut membuktikan bahwa guru dapat memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar. Selain itu, guru juga berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar; membantu menyelesaikan masalah; memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi; memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
3. Penutup
Kegiatan menutup pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru untuk mengakhiri kegiatan inti pembelajaran (Saadie, 2007:3.47). Kegiatan menutup pelajaran dimaksudkan untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang apa yang telah dipelajari siswa, serta mengetahui tingkat pencapaian siswa dan tingkat keberhasilan guru dalam proses pembelajaran. Usaha-usaha yang dapat dilakukan guru, antara lain merangkum kembali atau meminta siswa membuat ringkasan dan mengadakan evaluasi tentang materi pelajaran yang baru saja dibahas. Kegiatan menutup pelajaran ini juga dilakukan guru tidak saja pada akhir pelajaran, tetapi juga pada akhir setiap penggal kegiatan dari inti pembelajaran yang diberikan selama jam pelajaran itu.
Tuturan kegiatan menutup pelajaran dalam prinsip kerjasama lebih dominan mengacu pada maksim kualitas. Maksim kualitas ini mengimplikasikan bahwa siswa dan guru sudah sangat saling memahami apa yang telah dipelajari sehingga tuturan yang dihasilkan sesuai dengan keadaan sebenarnya, seperti pada tuturan beikut ini.
G: Ada lagi Nak selain tempo?
S: Ekspresi, Bu.
G: Ya, membaca puisi tidak bisa dikatakan berhasil jika kalian tidak bisa mempengaruhi orang yang mendengar. Jangan ragu-ragu menampakkan mimik muka kalian. Kalau sedih, tunjukkan sedih. Kalau gembira, tunjukkan gembira. Kalau meremehkan, tunjukkan dengan meremehkan. Seperti tadi kata Ade, Bu puisi ini saya ciptakan sebagai kritik terhadap wanita. Jadi selamat berkarya dan sampai jumpa.
Tuturan dalam bentuk pertanyaan mengimplikasikan bahwa guru menginginkan penguatan dari siswa bahwa siswa telah memahami terhadap materi yang telah dipelajari. Selain itu, guru berpraanggapan hal itu perlu dikuatkan lagi dalam bentuk simpulan. Namun, berdasarkan tuturan yang ditemui dari sembilan kegiatan pembelajaran, guru jarang menyimpulkan dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Kegiatan yang dilakukan lebih kepada penugasan. Kegiatan menutup ini lebih pada inti dari menutup pelajaran, seperti pada tuturan berikut.
G: Anak-anak waktu sudah habis.
S: Sudah (sebagian)
S: Belum, Bu (sebagian)
G: Ya, yang belum selesai lanjutkan di rumah sekarang kumpulkan
tugas puisi yang kemarin.
G: Siapkan ketua!
Berdasarkan prinsip kerja sama pada maksim kualitas memang guru dan siswa sudah melakukan tuturan dengan sebenarnya, tetapi guru masih belum memahami dalam kegiatan pembelajaran. Implikaturnya bahwa guru masih kurang mampu mengajak siswa untuk menerapkan kegiatan pembelajaran menutup yang baik. Menutup tidak sekadar tutup dan salam saja. Padahal, menutup pelajaran dilakukan untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang pokok-pokok materi yang dipelajari dengan cara meninjau kembali dan mengevaluasi (Saadie, 2007:3.53 s.d. 3.54). Meninjau kembali dapat dilakukan dengan cara merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan, sedangkan mengevaluasi dapat dilakukan dengan cara mendemonstrasikan keterampilan, mengaplikasikan ide baru, mengekspresikan ide guru, mengekspresikan ide baru, mengekspresikan pendapat, dan memberikan soal.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan dan analisis di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tidak semua peranggapan guru dan implikatur siswa memiliki kesesuaian atau dalam arti hanya pada maksim kualitas, melainkan ada juga maksim yang lain yaitu maksim kuantitas, maksim hubungan, dan maksim cara. Ada beberapa gejala konsep pemahaman yang guru dengan siswa perlihatkan ketika peristiwa tutur terjadi antara lain: [a] Ada kesamaan pemahaman secara langsung atau eksplisit yang diperlihatkan guru dan siswa sehingga praanggapan implikatur yang mereka perlihatkan sesuai dalam hal ini menggunakan prinsip kerja sama maksim kualitas. (b) ada kesamaan pemahaman secara tidak langsung atau implisit, tetapi untuk sampai pada pengertian yang maksudkan, guru harus menggali jawaban yang dimaksud siswa dengan memunculkan pertanyaan baru. Kecenderungan hal ini prinsip kerjasama yang digunakan dengan maksim kuantitas, dan cara. (c) tidak ada kesesuaian antara praanggapan dan implikatur dalam arti lain yang ditanya, lain yang dijawab (maksim relevansi atau hubungan).
Praanggapan dan implikatur hanyalah salah satu bagian dari kajian analisis wacana. Karena itu, pada kesempatan lain bagi penganalisis wacana agar dapat melakukan peninjauan lebih jauh dan aspek lain dan kompleks atau pada konteks wacana yang berbeda, baik itu mengenai kontruksi tema – rema, referensi (Reference), dan infrensi (inference), konteks situasi (the contec optituation) dan ko-teks (co-text), tematisasi dan penahapan, pronomina dalam wacana, serta yang lainnya. Dengan analisis yang lebih mendalam dan beragam diharapkan dapat merepresentasikan isi wacana dalam rangka menemukan makna wacana lisan yang bersangkutan.
Berdasarkan pembahasan dan analisis di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tidak semua peranggapan guru dan implikatur siswa memiliki kesesuaian atau dalam arti hanya pada maksim kualitas, melainkan ada juga maksim yang lain yaitu maksim kuantitas, maksim hubungan, dan maksim cara. Ada beberapa gejala konsep pemahaman yang guru dengan siswa perlihatkan ketika peristiwa tutur terjadi antara lain: [a] Ada kesamaan pemahaman secara langsung atau eksplisit yang diperlihatkan guru dan siswa sehingga praanggapan implikatur yang mereka perlihatkan sesuai dalam hal ini menggunakan prinsip kerja sama maksim kualitas. (b) ada kesamaan pemahaman secara tidak langsung atau implisit, tetapi untuk sampai pada pengertian yang maksudkan, guru harus menggali jawaban yang dimaksud siswa dengan memunculkan pertanyaan baru. Kecenderungan hal ini prinsip kerjasama yang digunakan dengan maksim kuantitas, dan cara. (c) tidak ada kesesuaian antara praanggapan dan implikatur dalam arti lain yang ditanya, lain yang dijawab (maksim relevansi atau hubungan).
Praanggapan dan implikatur hanyalah salah satu bagian dari kajian analisis wacana. Karena itu, pada kesempatan lain bagi penganalisis wacana agar dapat melakukan peninjauan lebih jauh dan aspek lain dan kompleks atau pada konteks wacana yang berbeda, baik itu mengenai kontruksi tema – rema, referensi (Reference), dan infrensi (inference), konteks situasi (the contec optituation) dan ko-teks (co-text), tematisasi dan penahapan, pronomina dalam wacana, serta yang lainnya. Dengan analisis yang lebih mendalam dan beragam diharapkan dapat merepresentasikan isi wacana dalam rangka menemukan makna wacana lisan yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Gillian dan Yuli. 1996. Analisis Wacana. (Terj. I Soetikno). Jakarta: PT Gramedia.
Irawan, Prasetya. 1999. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: STIA-LAN Press.
Mardalis. 1995. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Maria S., Rumi. 2000. “Pelaksanaan Pengajaran Apresaisi Puisi Siswa Kelas 1 SMUN 1 Kuala Lempuing Kotamadya Bengkulu”. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib.
Muhadjir, Neong. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nababan.. 1989. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi.
Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Saadie, Mamur. dkk. 2007. Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
Subekti, Susilo. 2006. “Pelaksanaan Pengelolaan Kelas dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas X SMAN 2 Kota Bengkulu Tahun Ajaran 2005/2006”. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib.
Sukarno. 1993. Kontruksi Tema Rema dalam Bahasa Indonesia Lisan tidak Resmi masyarakat Kodya Malang. Jakarta: Depdikbud.
Suryanti, Lilis. 2009.” Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Guru Sekolah Dasar Negeri di Seluma”. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib.
Yasin, Anas. 1991. Gramatika Komunikatif: Sebuah Model. (Disertasi) IKIP Malang.
Yasin, Anas. 2002. Aplikasi Analisis Wacana dalam Pengajaran Bahasa Asing. Makalah disampaikan pada pertemuan regional – Masyarakat linguistik Indonesia (PIR-MLI) 18 Mei 2002.
Yasin, Anas. 2002. Arah kajian bahasa: Kaitannya dengan Perkembangan Pendidikan, Iptek, dan Sosial Budaya. Makalah dalam SEKOLAR Volume 3, Nomor 1, Juni 2002.
Brown, Gillian dan Yuli. 1996. Analisis Wacana. (Terj. I Soetikno). Jakarta: PT Gramedia.
Irawan, Prasetya. 1999. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: STIA-LAN Press.
Mardalis. 1995. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Maria S., Rumi. 2000. “Pelaksanaan Pengajaran Apresaisi Puisi Siswa Kelas 1 SMUN 1 Kuala Lempuing Kotamadya Bengkulu”. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib.
Muhadjir, Neong. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nababan.. 1989. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi.
Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Saadie, Mamur. dkk. 2007. Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
Subekti, Susilo. 2006. “Pelaksanaan Pengelolaan Kelas dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas X SMAN 2 Kota Bengkulu Tahun Ajaran 2005/2006”. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib.
Sukarno. 1993. Kontruksi Tema Rema dalam Bahasa Indonesia Lisan tidak Resmi masyarakat Kodya Malang. Jakarta: Depdikbud.
Suryanti, Lilis. 2009.” Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Guru Sekolah Dasar Negeri di Seluma”. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib.
Yasin, Anas. 1991. Gramatika Komunikatif: Sebuah Model. (Disertasi) IKIP Malang.
Yasin, Anas. 2002. Aplikasi Analisis Wacana dalam Pengajaran Bahasa Asing. Makalah disampaikan pada pertemuan regional – Masyarakat linguistik Indonesia (PIR-MLI) 18 Mei 2002.
Yasin, Anas. 2002. Arah kajian bahasa: Kaitannya dengan Perkembangan Pendidikan, Iptek, dan Sosial Budaya. Makalah dalam SEKOLAR Volume 3, Nomor 1, Juni 2002.
Tag :
Sastra
0 Komentar untuk "Tugas Wawancara"