Kebijakan Pilkada Yang Membawa Anarkisme

Kebijakan Pilkada yang membawa anarkhisme. 

Pengalaman menunjukkan, bahwa sering terjadi ”impeachment” terhadap Kepala Daerah hanya dengan keputusan DPRD, apakah karena LPJ - nya ditolak atau karena sebab - sebab lain yang kecendurungan menunjukkan kekuasaan DPRD lebih tinggi dari Kepala Daerah, meskipun menurut jiwa dan semangat Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 pemberhentian Kepala Daerah tidak sepenuhnya berada dalam kompetensi DPRD, melainkan kewenangan untuk memberhentidkan Kepala Daerah tersebut berada pada Presiden. Inilah suatu paradigma yang cenderung lebih menjukkan “Legislative heavy” dalam sistem Pemerintahan Daerah yang berjalan menurut Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999. 

Inilah pula, salah satu alasan mengapa Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pergantian Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang tujuannya antara lain untuk mengembalikan dan mewujudkan keseimbangan dari “Legislatif heavy” kepada “Eksekutif heavy” dan keseimbangan antara hubungan kekuasaan pusat dan daerah, kembali terjebak kepada nuansa “re-sentralisasi” dalam penyelenggaraan otonomi daerah. 

Hubungan Eksekutif – Legislatif Daerah, idenya ingin mengembangkan strategi baru yang lebih dinamis, dimana hampir 30% pasal - pasal dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 (pasal 56 s/d pasal 119) mengatur tentang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Namun, kenyataan di lapangan banyak kericuhan terjadi dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, terjadi konflik horizontal dimana - mana, terutama setelah salah satu “calon terpilih” dinyatakan menang dalam Pilkada tersebut. Namun tidak jarang pula terjadi konflik vertikal, ketika salah satu calon yang diajukan oleh Parpol ditolak oleh KPUD, belum lagi terjadinya “money politic” yang berlebih - lebihan, uang terhamburkan dimana - mana hanya untuk memenangkan jabatan Kepala Daerah, daripada diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, ada orang yang bangkrut setelah tidak terpilih menjadi Kepala Daerah, sebaliknya orang yang terpilih sebagai Kepala Daerah, menjadi kebingungan bagaimana mengembalikan uang biaya Pilkada yang jumlahnya milyaran rupiah itu. Disamping itu, banyak perilaku masyarakat pemilih menjadi anarchist, merusak gedung - gedung dan sarana pemerintahan, karena ketidak puasan hasil Pilkada, dengan dalih pencerminan “demokrasi”, tetapi nyatanya kaostik dan anarkhis, dan banyak lagi persoalan - persoalan yang muncul yang mencerminkan seolah - olah pemerintah tidak mampu lagi untuk menyelesaikannya, bahkan seolah - olah ada kesan bahwa tidak ada satu badan publikpun yang semestinya bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan - persoalan tersebut, sehingga membawa dampak instabilitas dalam pemerintahan dan ketidak tentraman dalam masyarakat. 

Sedikit saya mengutip Editorial Media Indonesia, yang berjudul “Wajah Seram Indonesia”, a.l. sbb: 

“Wajah Indonesia berubah total akhir - akhir ini. Di Era Orde Baru, wajah Indonesia ditampar-tampar oleh Negara, demi keamanan dan pembangunan. Sekarang, di era reformasi wajah Indonesia digebuk - gebuk oleh rakyatnya sendiri atas nama demokrasi. Kita sekarang muncul sebagai bangsa yang gaduh. Apa saja yang dirasa tidak sesuai dengan pikiran individu atau kelompok diributkan, entah di parlemen, entah di jalan - jalan. Di parlemen hampir setiap minggu kita mendengar tentang ancaman angket dan interpelasi. Di jalan raya demonstrasi oleh warga dan anggota LSM tidak pernah putus. Pekan-pekan ini, citra Indonesia tidak lagi sekedar bangsa yang gaduh. Demonstrasi menentang PT Freeport di Papua yang berujung kematian tiga anggota Polri dan satu TNI, pembakaran kamp milik PT Newmont di NTB, dan disusul sekarang dengan aksi - aksi menentang Exxon Mobile di Blok Cepu, memperburuk wajah kita. Indonesia tidak lagi hanya bangsa yang gaduh, tetapi anarkistis. Bangsa yang tidak menghargai perjanjian dan komitmen. Para elite bangsa sekarang tenggelam dalam keyakinan super - kuat seakan - akan Indonesia begitu hebatnya, sehingga tidak memerlukan lagi orang - orang di bagian dunia yang lain. Setiap hari kita memaki, mengecam, mengusir, dan merusak. Padahal Indonesia sangat miskin dan lemah. Kita membutuhkan modal, keahlian, dan teknologi. Semua ini hanya bisa diperoleh apabila kita menampilkan wajah yang menawan dan bersahabat. Tidak wajah garang yang selalu mengepal tinju dan menghunus pedang…………….
Tag : Ekonomi
0 Komentar untuk "Kebijakan Pilkada Yang Membawa Anarkisme"

Back To Top