MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENDIDIKAN
A. Keharusan Manusia untuk menjadi Manusia Dewasa
Manusia dihadapkan kepada suatu kenyataan bahwa ia harus melanjutkan keberadaannya (eksistensinya). Hakikatnya manusia harus menjadi manusia idea yang bersumber dari Tuhan yang diketahui melali ajaran agama yan diturunkanNya, bersumber dari sesama dan budayanya bakan dari diri manusia itu sendiri. Manusia ideal adalah manusia yang telah dan mampu mewujudkan berbagai potensinya secara optimal, sehingga beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat dan cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya; mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya; berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya.
Manusia ideal disebut sebagai manusia yang telah mencapai kedewasaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan manusia adalah untuk menjadi manusia dewasa atau untuk mencapai kedewasaan.
B. Eksistensi dan Perkembangan Manusia bersifat Terbuka
1. Eksistensi Manusia bersifat Terbuka
Manusia bersifat terbuka artinya bahwa dalam eksistensinya manusia adalah makhluk yang belum selesai mengadakan dirinya sendiri. Ia harus merencanakan dan terus menerus mengupayakan ”mewujudkan” apa yang telah direncanakanya itu, untuk menjadi seseorang pribadi tertentu sesuai pilihannya (bereksistensi).
2. Perkembangan manusia bersifat terbuka
Blok telah mengemukakan teori retardasi (teori perlambatan dan perkembangan). Teorinya menunjukan bahwa perkembangan hewan bersifat terspesialisasi (tertutup), sedangkan perkembangan manusia bersifat belum terspesialisasi (terbuka). Manusia bersifat terbuka artinya manusia memiliki berbagai potensi untuk mampu menjadi manusia, misalnya : potensi untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, potensi untuk dapat berbuat baik, potensi cipta, rasa, karsa.
C. Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Bantuan
Dalam perjalanan hidupnya, anak manusia masih harus belajar untuk ”hidup”, adapun hal tersebut mengimplikasikan adanya ketergantungan dan perlunya anak memperolah bantuan dari orang dewasa. Bagi anak manusia, insting, nafsu, dan semua potensi itu belum mencukupi untuk dapat langsung menjalani dan mengahadapi kehidupan serta untuk dapat mengatasi semua masalah dan tantangan dalam hidupnya. Untuk dapa mewujudkan semua potensinya itu, anak manusia mempunyai ketergantungan kepada orang dewasa.
D. Manusia sebagai Makhluk yang Perlu dididik dan Perlu Mendidik Diri
Manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, untuk menjadi manusia ia perlu dididik dan mendidik diri. ”Manusia dapat menjadi manusia hanya melalui pendidikan”, demikian kesimpulan Immanuel Kant dalam teori pendidikannya (Henderson, 1959). Peryataan tersebut sejalan dengan hasil studi M.J. Langeveld yang memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan ”animal Educandum” atau hewan yang perlu didik dan mendidik diri (M.J.Langeveld, 1980)
4 Prinsip yang menjadi alasan mengapa manusia perlu mendidik.
1. Manusia belum selesai mengadakan dirinya sendiri
2. Keharusan manusia untuk menjadi manusia dewasa
3. Perkembangan manusia bersifat terbuka
4.Manusia sebagai makhluk yang lahir tak berdaya, memiliki ketergantungan dan memerlukan bantuan
E. Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Dididik
N. Drijakarya S.J. (1986) menyatakan bahwa manusia mempunyai atau berupa dinamika (manusia sebagai dinamika), artinya manusia tidak pernah berhenti selalu dalam keaktifan, baik dalam aspek fisiologik maupun spiritualnya. Dinamika mempunyai arah horisontal (ke arah sesama dan dunia) maupun kearah transedental (kearah Yang Mutlak).Karena itu dinamika manusia mengimplikasikan bahwa ia akan dapat dididik.
Manusia (anak didik) hakikatnya adalah makhluk sosial, ia hidup bersama dengan sesamanya ini akan terjadi hubungan pengaruh timbal balik dimana setiap individu akan menerima pengaruh dari individu yang lainnya. Sebab itu, maka sosialitas mengimplikasikan bahwa manusia akan dapat dididik.
5 prinsip antropologis yang melandasi kemungkinan manusia akan dapat dididik, yaitu :
1. Prinsip Potensialitas
2. Prinsip Dinamika
3. Prinsip Individualitas
Prinsip Sosialitas
F. Batas-batas Pendidikan
1. Masalah Batas Pendidikan
Sebagaimana dikemukakan oleh M.I. Soelaeman (1988:42-51) mengenai batas-batas pendidikan ini terdapat dua permasalahan, yaitu :
1. Batas pendidikan
2. Batas kemungkinan untuk mendapatkan pendidikan atau untuk dididik
2. Jenis Batas Pendidikan
Batas pendidikan dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Batas bawah pendidikan
2. Batas atas pendidikan
3. Batas pendidikan berkenaan dengan pribadi anak didik.
3. Batas bawah dan Batas atas pendidikan
Batas bawah adalah ketika anak didik mengenal kewibawaan yaitu kurang lebih sekitar usia 3,5 tahun. Batas atas pendidikan adalah ketika tujuan pendidikan telah tercapai atau ketika anak mencapa kedewasaan.
4. Batas Pendidikan berhubungan dengan pribadi anak didik.
Praktek pendidikan hendaknya dilaksanakan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan anak didi. Pendidik dalam melaksanakan peranan-peranannya hendaknya tetap menghormati pribadi anak didik. Jangan sampai anak pendidik mengorbankan pribadi anak didik. M.J.Langeveld (1980:34) pernah mengingatkan bahwa ”pergaulan yang tidak menghormati keanakan itu tidak menunjukan kekurangan dan ketidaksempurnaan pedagogis”.
5. Batas Kemungkinan dididik
Batas pendidikan hanya berurusan dengan potensi atau bakat mana yang harus dikembangkan, bagaimana cara mengembangkannya, dan sejauhmana potensi atau bakat yang ada pada diri anak didik telah dikembangkan. Selain itu, batas kemungkinan dididik berhubungan dengan jenis kelamin anak didik, yaitu bagaimana mengembangkan anak laki-laki menjadi laki-laki dan anak prempuan menjadi perempuan.
6. Batas pendidikan bersifat individual
Batas pendidikan tidak bisa disamaratakan untuk anak yang satu dengan anak lainnya.
7. Dasar dan ajar
Pembawaan/dasar (nature) atau pendidikan/ajar memiliki 3 aliran pokok, yaitu:
1. Nativisme
Tokoh aliran nativisme adalah Schoupenhauer. Penganut teori ini berasumsi bahwa setiap individu (anak) dilahirkan kedunia dengan mmbawa bakat atau potensi yang merupakan faktor turunan yang berasal dari orang tuanya. Bakat atau potensi ini diyakini menjadi faktor penentu perkembangan individu selanjutnya setelah ia dilahirkan. Teori ini dikenal sebagai teori yang pesimistik terhadap peranan ajar/pendidikan (nature).
2. Empirisme
Tokoh aliran empirisme antara lain John Locke dan J.B. Watson. Mereka berasumsi bahwa setiap anak dilahirkan ke dunia dalam keadaan bersih ibarat papan tulis yang belum ditulisi. Mereka tidak percaya kepada faktor bakat atau potensi yang merupakan turunan atau hereditas sebagai penentu perkembangan individu (anak didik).
Implikasi teori empirisme terhadap pendidikan yakni memberikan kemungkinan sepenuhnya bagi pendidik (pendidikan/ajar/nurture) untuk dapat membentuk kepribadian anak didik, tanggung jawab pendidikan sepenuhnya ada di pihak pendidik
3. Konvergensi
Tokoh aliran ini antaralain, William Stern. Penganut aliran ini berasumsi bahwa perkembanga individu ditentukan baik oleh faktor bakat/potensi yang merupakan turunan maupun oleh faktor lingkungan/pengalaman. Implikasi teor ini terhadap pendidikan yakni, bahwa perkembangan anak didik mendapat pengaruh baik dari bakat bawaan maupun dari lingkungan, termasuk dari pendidik -alt:auto;margin-left:54.0pt; text-align:justify;text-indent:0cm;mso-list:l6 level1 lfo5;tab-stops:72.0pt'>1. Fungsi transmisi (konservasi) kebudayaan masyarakat
2. Fungsi sosialisasi (memilih dan mengajarkan peranan social)
3. Fungsi integrasi social
4. Fungsi mengembangkan kepribadian anak didik
5. fungsi mempersiapkan anak didik untuk suatu pekerjaan
6. Fungsi inovasi/mentransformasi masyarakat dan kebudayaannya.
c. Tujuan dan fungsi pendidikan sekolah
Secara umum sekolah memiliki tujuan pendidikan sejalan dengan fungsi-fungsi sekolah. Implikasinya, maka isi pendidikan di sekolah akan disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah yang bersangkutan. Adapun tujuan dan isi pendidikan masing-masing sekolah tentunya telah terumuskan secara tertulis (formal) di dalam kurikulumnya.
d. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal
Sekolah merupakan kesatuan kegiatan-kegiatan menyelenggarakan pembelajaran yang dilakukan oleh para petugas khusus dengan cara-cara terencana dan teratur menurut tatanan nilai dan norma yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
e. Formalitas sekola merembes ke dalam kurikulum dan pembelajaran
Formalitas sekolah berakar pada status para individu yang menjadi komponennya, serta system nilai dan norma yang serba resmi. Perlu kita sadari bahwa selanjutnya formalitas tersebut merembes ke dalam kurikulum dan cara-cara pembelajaran.
f. Karakteristik pendidikan di sekolah
1. Secara factual, pendidikan di sekolah lebih menekankan kepada pengembangan kemampuan intelektual
2. Peserta didiknya bersifat homogen
3. Isi pendidiknya terprogram secara formal/kurikulumnya tertulis
4. Berjenjang dan berkesinambungan
5. Waktu pendidikan terjadwal secara ketat, relative lama.
6. Cara pelaksanaan pendidikan bersifat formal dan artificial
7. Evaluasi pendidikan dilaksanakan secara sistematis
8. Credentials ada dan penting.
3. Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang berintegrasi secara terorganisasi, menempati daerah tertentu, dan mengikuti suatu cara hidup atau budaya tertentu. Masyarakat dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan.
a. Fungsi masyarakat sebagai lingkungan pendidikan
Di dalam lingkungan masyarakat, anak akan memperoleh pengalaman tentang berbagai hal, antara lain berkenaan dengan lingkungan alamnya, seperti flora dan fauna. Di lingkungan masyarakat anak pun akan memperoleh pengaruh dari orang-orang yang ada di sekitarnya, baik dari teman sebaya, maupun orang dewasa. Anak juga akan memperoleh pengaruh dari hasil karya masyarakat. Di dalam masyarakat anak belajar tentang nilai-nilai dan peranan-perana yang seharusnya mereka lakukan. Anak memperoleh pengalaman bergaul dengan teman-temannya di luar rumah dan di luar lingkungan Sekolah. Karena itu pendidikan anak dalam lingkungan masyarakat dapat berfungsi sebagai pelengkap, penambah, dan mungkin juga pengembang pendidikan di dalam keluarga dan sekolah, bahkan dapat berfungsi sebagai pengganti pendidikan di sekolah.
b. Tanggung jawab pendidikan di lingkungan masyarakat.
Selain menjadi tanggung jawab pemerintah, pendidikan di lingkungan masyarakat harus menjadi tangung jawab bersama para orang dewasa yang ada di lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
c. Pendidikan informal dalam masyarakat
Pendidikan informal dalam masyarakat antara lain dapat berlangsung melalui adapt kebiasaan, pergaulan anak sebaya, upacara adat, pergaulan di lingkungan kerja, permainan, pagelaran kesenian, dan bahkan percakapan biasa sehari-hari. Dalam konteks ini pendidikan merupakan pewaris social yang berfungsi untuk melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat.
d. Pendidikan nonformal di dalam masyarakat
Definisi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (Pasal 1 ayat (12) UU RI No. 20 Tahun 2003).
Fungsi. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional.
Lingkup. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, serta pendidikan lain yang ditunjukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan Pendidikan. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan yang sejenis.
e. Karakteristik pendidikan di masyarakat.
1. Secara factual tujuan pendidikannya lebih menekankan pada pengembangan keterampilan praktis
2. Peserta didiknya bersifat heterogen
3. Isi pendidikannya ada yang terprogram secara tertulis, ada pula yang tidak terprogram secara tidak tertulis.
4. Dapat berjenjang dan berkesinambungan dan dapat pula tidak berjenjang dan tidak berkesinambungan.
5. Waktu pendidikan terjadwal secara ketat atau tidak terjadwal, lama pendidikannya relative singkat
6. Cara pelaksanaan pendidikan mungkin bersifat artificial mungkin pula bersifat wajar.
7. Evaluasi pendidikan mungkin dilaksanakan secara sistematis dapat pula tidak sistematis Credentials mungkin ada dan mungkin pula tidak ada.
Tag :
Pendidikan
0 Komentar untuk "MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENDIDIKAN "