Sejarah Perkembangan Inseminasi Buatan di Indonesia
Inseminasi
Buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun
limapuluhan oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Hewan dan
Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Dalam rangka rencana kesejahteraan
istimewa (RKI) didirikanlah beberpa satsiun IB di beberapa daerah di awa
Tenggah (Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan), Jawa Timur (Pakong dan
Grati), Jawa Barat (Cikole/Sukabumi) dan Bali (Baturati). Juga FKH dan
LPP Bogor, difungsikan sebagai stasiun IB untuk melayani daerah Bogor
dan sekitarnya, Aktivitas dan pelayanan IB waktu itu bersifat hilang,
timbul sehingga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat.
Pada
tahun 1959 dan tahun-tahun berikutnya, perkembangan dan aplikasi IB
untuk daerah Bogor dan sekitranya dilakukan FKH IPB, masih mengikuti
jejak B. Seit yaitu penggunaan semen cair umtuk memperbaiki mutu genetik
ternak sapi perah. Pada waktu itu belum terfikirkan untuk sapi potong.
Menjelang tahun 1965, keungan negara sangat memburuk, karena situasi
ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan, sehingga kegiatan IB
hampir-hampir tidak ada. Stasiun IB yang telah didirikan di enam tempay
dalam RKI, hanya Ungaran yang masih bertahan.
Di
Jawa Tenggah kedua Balai Pembenihan Ternak yang ditunjuk, melaksanakan
kegiatan IB sejak tahun1953, dengan tujuan intensifikasi onggolisasi
untuk Mirit dengan semen Sumba Ongole (SO) dan kegiatan di Ungaran
bertujuan menciptakan ternak serba guna, terutama produksi susu dengan
pejantan Frisien Holstein (FH). Ternyata nasib Balai Pembibitan Ternak
kurang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, kecuali Balai
Pembibitan Ternak Ungaran, dan tahun1970 balai ini diubah namanya
menjadi Balai Inseminasi Buatan Ungaran, dengan daerah pelayanan samapi
sekarang di daerah jalur susu Semarang – Solo – Tegal.
Inseminasi
buatan telah pula digalakkan atau diperkenalkan oleh FKH IPB, di daerah
Pengalengan, Bandung Selatan, bahkan pernah pula dilakukan pameran
pedet (Calf Show) pertama hasil IB. Kemajuan tersebut disebabkan
adanya sarana penunjang di daerah tersebut yaitu 1) rakyat pemelihara
sapi telah mengenal tanda-tanda berahi dengan baik, 2) rakyat telah tahu
dengan pasti bahwa peningkatan mutu ternak melalui IB merupakan jalan
yang sesingkat-singkatnya menuju produksi tinggi, 3) pengiriman semen
cair dari Bogor ke Pengalengan dapat memenuhi permintaan, sehingga
perbaikan mutu genetik ternak segera dapat terlihat.
Hasil-hasil
perbaikan mutu genetik ternak di Pengalengan cukup dapat memberi
harapan kepda rakyat setempat. Namun sayangnya peningkatan produksi
tidak diikuti oleh peningkatan penampungan produksi itu sendiri. Susu
sapi umumnya dikonsumsi rakyat setempat. Akibatnya produsen susu menjadi
lesu, sehingga perkembangan IB di Pangalengan sampai tahun 1970,
mengalami kemunduran akibat munculnya industri-industri susu bubuk yang
menggunakan susu bubuk impor sebagai bahan bakunya.
Kekurang
berhasilan program IB antara tahun 1960-1970, banyak disebabkan karena
semen yang digunakan semen cair, dengan masa simpan terbatas dan perlu
adanya alat simpan sehingga sangat sulit pelaksanaanya di lapangan.
Disamping itu kondisi perekonomian saat itu sangat kritis sehingga
pembangunan bidang peternakan kurang dapat perhatian.
Dengan
adanya program pemerintah yang berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun
yang dimulai tahun 1969, maka bidang peternakan pun ikut dibangun.
Tersedianya dana dan fasilitas pemerintah akan sangat menunjang
peternakan di Indonesia, termasuk program IB. Pada awal tahun 1973
pemerintah measukan semen beku ke Indonesia. Dengan adanya semen beku
inilah perkembangan IB mulai maju dengan pesat, sehingga hampir
menjangkau seluruh provinsi di Indonesia.
Semen
beku yang digunkan selema ini merupakan pemberian gratis pemerintah
Inggris dansSelandia Baru. Selanjutnya pada tahun 1976 pemerintah
Selandia Baru membantu mendirikan Balai Inseminasi Buatan, dengan
spesialisasi memproduksi semen beku yang terletak di daerah Lembang Jawa
Barat. Setahun kemudian didirikan pula pabrik semen beku kedua yakni di
Wonocolo Suranaya yang perkembangan berikutnya dipindahkan ke Singosari
Malang Jawa Timur.
Untuk
kerbau pernah pula dilakukan IB, yakni di daerah Serang, Banten, dengan
IPB sebagai pelaksana dan Dirjen Peternakan sebagai sponsornya (1978).
Namun perkembangannya kurang memuaskan karena dukungan sponsor yang
kurang menunjang, disamping reproduksi kerbau belum banyak diketahui. IB
pada kerbau pernah juga diperkenalakan di Tanah Toraja Sulawesi
Selatan, Nusa Tenggara dan Jawa Timur.
Hasil
evaluasi pelaksanaan IB di Jawa, tahun 1972-1974, yang dilaksanakan
tahun 1974, menunjukan anka konsepsi yang dicapai selama dua tahun
tersebut sangat rendah yaitu antara 21,3 – 38,92 persen. Dari survei ini
disimpulkan juga bahwa titik lemah pelaksaan IB, tidak terletak pada
kualitas semen, tidak pula pada keterampilan inseminator, melainkan
sebagian besar terletak pada ketidak suburan ternak-ternak betina itu
sendiri. Ketidak suburan ini banyak disebabkan oleh kekurangan pakan,
kelainan fisiologi anatomi dan kelainan patologik alat kelamin betina
serta merajalelanya penyakit kelamin menular. Dengan adanya evaluasi
terebut maka perlu pula adanya penyemopurnaan bidang organisasi IB,
perbaikan sarana, intensifikasi dan perhatian aspek pakan, manajemen,
pengendalian penyakit.
Tag :
Peternakan
0 Komentar untuk "Sejarah perkembangan inseminasi buatan di Indonesia"